Jikamenggunakan pupuk majemuk semua, kuantiti rata-rata 6 kg/pokok x 136 pokok/ha = 816 kg/ha x @ rata-rata Rp 5.000/kg = 4,08 juta/ha. Biaya aplikasi pupuknya tergantung dosis dan kemampuan orang. Untuk dosis 1 - 2 kg/pokok, rata - rata kemampuan orang adalah 700 kg/hari.
Efisiensi pupuk merupakan rasio antara jumlah hara yang diserap tanaman dengan jumlah hara yang diaplikasikan lewat pupuk. Efisiensi pupuk yang tinggi digambarkan dengan semakin banyaknya hara yang dapat diserap tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efisiensi beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, Sumatra Utara. Sebanyak empat perlakuan dengan tiga ulangan disusun menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang dicobakan adalah 1 P0 = Kontrol/tanpa pupuk; 2 P1 = Pupuk majemuk Briket, 3 P2 = Pupuk majemuk granular, dan 4 P3 = Pupuk tunggal lengkap yang terdiri dari Urea, TSP, MoP, dan Kieserit. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa i serapan hara nutrient uptake N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 11%; 21%; 9%; dan 23% dibanding perlakuan pupuk majemuk granular dan 5%; 1%; 1% dan 19% lebih tinggi dibanding perlakuan P3; ii efisiensi serapan hara recovery efficiency N, P, K dan Mg perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 18%; 42%; 16%; dan 20% dibanding perlakuan pupuk majemuk granule dan lebih tinggi sekitar 8%; 1%; 2%; dan 19% dibanding perlakuan pupuk tunggal; dan iii efisiensi agronomis agronomic efficiency N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 26% dan 18% dibanding nilai efisiensi agronomis hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk granular dan pupuk tunggal lengkap. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Rajan, and D. Radhakrishna. 2013. Effect of endophytic bacteria on the rooting and establishment of c u t t i n g s of Hibiscus rosasinensis. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science. 32 Dedeh, S. Pujawati, H. Ridha. 2008. Aplikasi bakteri endofitik penambat N2 untuk meningkatkan populasi bakteri endofitik dan hasil tanaman padi sawah. Jurnal Agrikultura. 193 S., J. Vanderleyden, and R. Remans. 2007. Indole-3-a c e t ic a c i d i n microbial and microorganism-plant signaling. FEMS Microbiol Rev. 314 D. Gustomo, dan Y. Nuraini. 2016. Pengaruh aplikasi bakteri endofit penambat nitrogen dan pupuk nitrogen terhadap serapan nitrogen serta pertumbuhan tanaman. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan. 32 I., Sugiyanta, A. Junaedi, dan R. Widyastuti. 2014. Peran bakteri penambat nitrogen untuk mengurangi dosis pupuk nitrogen anorganik pada padi sawah. J. Agron Indonesia. 422 Sutarta, dan W. Darmosarkoro. 2003. Efektivitas aplikasi pemupukan majemuk lambat tersedia pada pembibitan kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 113 T. 2012. Menggali potensi endofit untuk meningkatkan kesehatan tanaman tebu mendukung peningkatan produksi gula. Perspektif. 112 M., Y. Liang, X. Zhang, Y. Xu, H. Dai, and W. Xiao. 2008. Deletion of yeast CWP genes enhances cell permeability genotoxic agents. Toxicol Sci. 1031 Hidayat, Suroso Rahutomo, Rana Farrasati, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Edy Sigit Sutarta, dan Wiwik Eko Widayati EFISIENSI SERAPAN HARA BEBERAPA JENIS PUPUK PADA BIBIT KELAPA SAWITNUTRIENTS USE EFFICIENCY OF SEVERAL TYPES OF FERTILIZERS ON THE OIL PALM SEEDLINGJ. Pen. Kelapa Sawit, 2018, 262 79-90dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk granular dan pupuk tunggal lengkap. Kata kunci efisiensi, serapan hara, efisiensi agronomis, kelapa Fertilizer efficiency is a ratio between the amount of nutrient that absorbed by the plant and the amount of nutrient that applied through fertilizer. The efficiency of a fertilizer can be defined as the number of nutrients that can be absorbed by the plan. The objective of this study was to compare the efficiency of three types of fertilizers on the oil palm seedling. This research was conducted on Indonesian Oil Palm Research Institute at Medan, North Sumatra, Indonesia. Four treatments with three replications were arranged by a completely randomized design. The treatments are 1 P0 = control/no fertilizer; 2 P1 = Briquette compound fertilizer, 3 P2 = Granular compound fertilizer, and 4 P3 = single-nutrient fertilizer; Urea, TSP, MoP, and Kieserite. The results showed that I nutrients uptake NU of N, P, K, and Mg on briquette compound fertilizer relatively higher about 11%; 21%; 9%; and 23% compare to granular compound fertilizer and 5%; 1%; 1% and 19% higher than P3 respectively; ii recovery efficiency RE of N, P, K, and Mg on briquette compound fertilizer were 18%; 42%; 16%; and 20% higher than granular compound fertilizer and 8%; 1%; 2%; and 19% than single-nutrient fertilizer; while iii agronomic efficiency AE of N, P, K, and Mg on Briquette compound fertilizer were higher about 26% for each nutrient compare to Granular compound fertilizer and 18% higher for each nutrient than single-nutrient efficiency; nutrient uptake; agronomic efficiency; oil Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Abstrak Efisiensi pupuk merupakan rasio antara jumlah hara yang diserap tanaman dengan jumlah hara yang diaplikasikan lewat pupuk. Efisiensi pupuk yang tinggi digambarkan dengan semakin banyaknya hara yang dapat diserap tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efisiensi beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, Sumatera Utara. Sebanyak empat perlakuan de ngan tiga ulangan disusu n menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang dicobakan adalah 1 P0 = Kontrol/tanpa pupuk; 2 P1 = Pupuk majemuk Briket, 3 P2 = Pupuk majemuk granular, dan 4 P3 = Pupuk tunggal lengkap yang terdiri dari Urea, TSP , MoP , dan Kie s er i t. Hasi l pen e li ti a n memperlihatkan bahwa i serapan hara nutrient uptake N, P, K dan Mg pada perlakuan Pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 11%; 21%; 9%; dan 23% dibanding perlakuan pupuk majemuk granular dan 5%; 1%; 1% dan 19% lebih tinggi dibanding perlakuan P3; ii efisiensi serapan hara recovery efficiency N, P, K dan Mg perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 18%; 42%; 16%; dan 20% dibanding perlakuan pupuk majemuk granule dan lebih tinggi sekitar 8%; 1%; 2%; dan 19% dibanding perlakuan pupuk tunggal; dan iii efisiensi agronomis agronomic efficiency N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 26% dan 18% dibanding nilai efisiensi agronomis hara N, P, K, Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa SawitEko Noviandi Ginting *Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail eko81_novandy 79Naskah masuk 09/04/2018; Naskah diterima 28/08/2018 berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 80PENDAHULUAN Nitrogen, Phosphor, Kalium dan Magnesium merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Pada tanaman kelapa sawit, pemupukan menghabiskan biaya sekitar 40-60% dari total biaya pemeliharaan Sutarta dan Winarna, 2003. Namun, dengan porsi biaya yang cukup besar tersebut permasalahan mendasar dalam pemupukan yang masih banyak dihadapi oleh pekebun adalah masalah efesiensi pemupukan yang rendah. Ting k at efe k ti v ita s d an efis ien s i pupu k berhubungan dengan banyaknya hara yang diserap tanaman dari sejumlah hara yang diberikan kepada tanaman lewat pupuk. Penggunaan pupuk konvensional pupuk tunggal di perkebunan kelapa sawit dianggap memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Lebih dari setengah jumlah pupuk konvensional yang diaplikasikan hilang tercuci oleh air, dan hal ini bukan saja menyebabkan kerugian ekonomis yang tinggi, namun juga mengakibatkan polusi lingkungan yang serius Rashidzadeh dan Olad, 2014; Eghbali et al., 2015; Azeem et al., 2014; Zhang et al., 2011; Kuscu et al., 2014. Jin et al 2011 juga memperkirakan bahwa kehilangan hara pada penggunaan pupuk konvensional antara 30-70%, tergantung oleh metode aplikasi dan kondisi tanah. Selanjutnya Chandra et al., 2009 menyatakan, dengan menggunakan pupuk slow release maka dosis pupuk menjadi lebih kecil, efesiensi pemupukan meningkat, dan permasalahan pencemaran lingkungan dapat teratasi. Dewasa ini teknologi pupuk berkembang cukup pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan jenis pupuk di pasaran yang menawarkan penigkatan efe kt i vi ta s dan efi si e ns i dib a nd in g p up uk konvensional. Salah satu teknologi pupuk yang banyak didiskusikan oleh pekebun ataupun petani saat ini adalah teknologi slow release. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pupuk slow release memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pupuk konvensional Fageria and Carvalho, 2014; Xu et al.,2013. Carson et al., 2014 dan Chen et al., 2008 menyatakan bahwa dibandingkan pupuk Nitrogen konvensional, pupuk Nitrogen slow release dapat mendistribusikan hara lebih merata sehingga dapat mengurangi kehilangan hara. Selanjutnya Trenkel 2010 menyatakan bahwa penggunaan pupuk yang memiliki sifat slow release dapat mengurangi kehilangan hara sebesar 20-30% jika dibandingkan dengan pupuk konvensional. Salah satu karakteristik yang mempengaruhi tingkat efektivitas pupuk slow release adalah ukuran partikel pup u k . H a s il p enelitian Qiao et al., 2016 menunjukkan bahwa pengurangan ukuran kisi pupuk pada skala nano berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas penyerapan air dengan mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan efektivitas sifat slow release pupuk. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efesiensi serapan hara antara pupuk tunggal dengan pupuk majemuk slow release pada bibit kelapa DAN METODELokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruangan terbuka di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan, Sumatera Utara. Percobaan lapangan dilakukan selama 6 enam bulan pada tahun 2015 pada pembibitan tahap main nursery. Media tanam yang digunakan adalah sub soil yang diambil pada kedalaman 20-40 cm dari permukaan tanah di kebun percobaan Aek Pancur, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berat tanah untuk media tanam bibit per polybag adalah sebanyak 20 disusun menggunakan rancangan acak lengkap RAL tunggal satu faktor dengan 4 empat perlakuan dan 3 tiga ulangan sehingga total ada 12 unit percobaan. Perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1 tanpa pemupukan sebagai kontrol P0; 2 aplikasi pupuk NPK majemuk briket P1, 3 pupuk NPK majemuk granular P2, dan 4 pupuk tunggal terdiri dari urea, TSP, MoP, dan kieserite P3. Acuan dosis pupuk tunggal maupun majemuk yang diaplikasikan untuk setiap unit percobaan adalah 3,8 gram N; 2,3 gram P O ; 5,7 gram 2 5K O; dan 0,2 gram MgO. Acuan dosis tersebut dihitung 2berdasarkan standar pemupukan bibit kelapa sawit dari bibit berumur 14 minggu sampai 24 minggu. Komposisi hara pupuk majemuk briket maupun granule ini adalah 16-10-24-0,75 TE, sedangkan kandungan hara pada pupuk tunggal sesuai dengan Standar Nasional Indonesia SNI. Aplikasi perlakuan dilakukan setelah bibit ditanam pada media tanam, dimana bibit yang digunakan adalah bibit berumur 3 bulan pre-nursery. Untuk Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta perlakuan P1, pupuk diaplikasikan dengan cara dibenam sedalam ± 3 cm dari permukaan tanah. Sementara untuk perlakuan P2 dan P3, pupuk diaplikasikan dengan cara tabur merata di permukaan tanah. Parameter penelitian yang diamati adalah pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi dan dimater batang, berat kering tanaman dan efisiensi pupuk pada masing-masing perlakuan. Selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman bibit kelapa sawit, dengan kata lain sumber air tanaman hanya berasal dari hujan. Tingkat efisiensi masing-masing perlakuan pupuk diukur berdasarkan efisiensi penggunaan hara oleh bibit kel apa s a wit d ari masing-masin g per lakuan pemupukan atau yang lebih dikenal dengan Nutrient use efficiency NUE. NUE dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan beberapa indeks agronomi yaitu 1 Nutr i e n t Uptake/NU; 2 Appare n t Re c overy Efficiency/RE; 3 Physiological Efficiency/PE; dan 4 Agronomic Efficiency/AE Dobermann, 2007; Roberts, 2008; Snyder, 2009. NU memberikan gambaran banyaknya hara yang diserap tanaman dari dalam tanah, RE akan menjawab banyaknya hara yang diserap oleh tanaman dari hara yang diberikan lewat pupuk, dengan demikian RE memberikan gambaran potensi banyaknya hara yang hilang dari sitem tanaman. Sementara PE mencerminkan besarnya kenaikan produksi berat kering total tanaman dari setiap unit hara yang diserap tanaman dan AE akan menjawab besarnya peningkatan produksi tanaman dari setiap unit hara yang diberikan. NU, RE, PE, dan AE dihitung berdasarkan persamaan serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitDimana PE = Efesiensi Fisiologi Physiological EfficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana RE = Efesiensi Serapan Hara Recovery efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana NU = Serapan Hara Nutrient UptakeDimana AE = Efesiensi Agronomis Agronomic efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupuk81berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 80PENDAHULUAN Nitrogen, Phosphor, Kalium dan Magnesium merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Pada tanaman kelapa sawit, pemupukan menghabiskan biaya sekitar 40-60% dari total biaya pemeliharaan Sutarta dan Winarna, 2003. Namun, dengan porsi biaya yang cukup besar tersebut permasalahan mendasar dalam pemupukan yang masih banyak dihadapi oleh pekebun adalah masalah efesiensi pemupukan yang rendah. Ting k at efe k ti v ita s d an efis ien s i pupu k berhubungan dengan banyaknya hara yang diserap tanaman dari sejumlah hara yang diberikan kepada tanaman lewat pupuk. Penggunaan pupuk konvensional pupuk tunggal di perkebunan kelapa sawit dianggap memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Lebih dari setengah jumlah pupuk konvensional yang diaplikasikan hilang tercuci oleh air, dan hal ini bukan saja menyebabkan kerugian ekonomis yang tinggi, namun juga mengakibatkan polusi lingkungan yang serius Rashidzadeh dan Olad, 2014; Eghbali et al., 2015; Azeem et al., 2014; Zhang et al., 2011; Kuscu et al., 2014. Jin et al 2011 juga memperkirakan bahwa kehilangan hara pada penggunaan pupuk konvensional antara 30-70%, tergantung oleh metode aplikasi dan kondisi tanah. Selanjutnya Chandra et al., 2009 menyatakan, dengan menggunakan pupuk slow release maka dosis pupuk menjadi lebih kecil, efesiensi pemupukan meningkat, dan permasalahan pencemaran lingkungan dapat teratasi. Dewasa ini teknologi pupuk berkembang cukup pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan jenis pupuk di pasaran yang menawarkan penigkatan efe kt i vi ta s dan efi si e ns i dib a nd in g p up uk konvensional. Salah satu teknologi pupuk yang banyak didiskusikan oleh pekebun ataupun petani saat ini adalah teknologi slow release. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pupuk slow release memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pupuk konvensional Fageria and Carvalho, 2014; Xu et al.,2013. Carson et al., 2014 dan Chen et al., 2008 menyatakan bahwa dibandingkan pupuk Nitrogen konvensional, pupuk Nitrogen slow release dapat mendistribusikan hara lebih merata sehingga dapat mengurangi kehilangan hara. Selanjutnya Trenkel 2010 menyatakan bahwa penggunaan pupuk yang memiliki sifat slow release dapat mengurangi kehilangan hara sebesar 20-30% jika dibandingkan dengan pupuk konvensional. Salah satu karakteristik yang mempengaruhi tingkat efektivitas pupuk slow release adalah ukuran partikel pup u k . H a s il p enelitian Qiao et al., 2016 menunjukkan bahwa pengurangan ukuran kisi pupuk pada skala nano berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas penyerapan air dengan mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan efektivitas sifat slow release pupuk. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efesiensi serapan hara antara pupuk tunggal dengan pupuk majemuk slow release pada bibit kelapa DAN METODELokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruangan terbuka di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan, Sumatera Utara. Percobaan lapangan dilakukan selama 6 enam bulan pada tahun 2015 pada pembibitan tahap main nursery. Media tanam yang digunakan adalah sub soil yang diambil pada kedalaman 20-40 cm dari permukaan tanah di kebun percobaan Aek Pancur, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berat tanah untuk media tanam bibit per polybag adalah sebanyak 20 disusun menggunakan rancangan acak lengkap RAL tunggal satu faktor dengan 4 empat perlakuan dan 3 tiga ulangan sehingga total ada 12 unit percobaan. Perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1 tanpa pemupukan sebagai kontrol P0; 2 aplikasi pupuk NPK majemuk briket P1, 3 pupuk NPK majemuk granular P2, dan 4 pupuk tunggal terdiri dari urea, TSP, MoP, dan kieserite P3. Acuan dosis pupuk tunggal maupun majemuk yang diaplikasikan untuk setiap unit percobaan adalah 3,8 gram N; 2,3 gram P O ; 5,7 gram 2 5K O; dan 0,2 gram MgO. Acuan dosis tersebut dihitung 2berdasarkan standar pemupukan bibit kelapa sawit dari bibit berumur 14 minggu sampai 24 minggu. Komposisi hara pupuk majemuk briket maupun granule ini adalah 16-10-24-0,75 TE, sedangkan kandungan hara pada pupuk tunggal sesuai dengan Standar Nasional Indonesia SNI. Aplikasi perlakuan dilakukan setelah bibit ditanam pada media tanam, dimana bibit yang digunakan adalah bibit berumur 3 bulan pre-nursery. Untuk Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta perlakuan P1, pupuk diaplikasikan dengan cara dibenam sedalam ± 3 cm dari permukaan tanah. Sementara untuk perlakuan P2 dan P3, pupuk diaplikasikan dengan cara tabur merata di permukaan tanah. Parameter penelitian yang diamati adalah pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi dan dimater batang, berat kering tanaman dan efisiensi pupuk pada masing-masing perlakuan. Selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman bibit kelapa sawit, dengan kata lain sumber air tanaman hanya berasal dari hujan. Tingkat efisiensi masing-masing perlakuan pupuk diukur berdasarkan efisiensi penggunaan hara oleh bibit kel apa s a wit d ari masing-masin g per lakuan pemupukan atau yang lebih dikenal dengan Nutrient use efficiency NUE. NUE dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan beberapa indeks agronomi yaitu 1 Nutr i e n t Uptake/NU; 2 Appare n t Re c overy Efficiency/RE; 3 Physiological Efficiency/PE; dan 4 Agronomic Efficiency/AE Dobermann, 2007; Roberts, 2008; Snyder, 2009. NU memberikan gambaran banyaknya hara yang diserap tanaman dari dalam tanah, RE akan menjawab banyaknya hara yang diserap oleh tanaman dari hara yang diberikan lewat pupuk, dengan demikian RE memberikan gambaran potensi banyaknya hara yang hilang dari sitem tanaman. Sementara PE mencerminkan besarnya kenaikan produksi berat kering total tanaman dari setiap unit hara yang diserap tanaman dan AE akan menjawab besarnya peningkatan produksi tanaman dari setiap unit hara yang diberikan. NU, RE, PE, dan AE dihitung berdasarkan persamaan serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitDimana PE = Efesiensi Fisiologi Physiological EfficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana RE = Efesiensi Serapan Hara Recovery efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana NU = Serapan Hara Nutrient UptakeDimana AE = Efesiensi Agronomis Agronomic efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupuk81berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis tanah awal dan curah hujan Fraksi tanah didominasi fraksi pasir yang mencapai 62%, sedangkan tekstur tanah tergolong lempung berpasir. Tanah tergolong masam dengan pH 5,7. Kadar C relatif rendah yaitu karena sampel tanah diambil dari lapisan sub soil yang tidak memperoleh akumulasi bahan organik langsung dari dekomposisi serasah tanaman. Kadar hara lain seperti N dan P serta K, Ca, Na, dan Mg yang merupakan kation tertukar juga tergolong rendah. Tingginya kandungan fraksi pasir, rendahnya C organik dan kapasitas tukar kation KTK tanah yang hanya sebesar 7,52 me/100 g merupakan beberapa indikator akan rendahnya kemampuan tanah dalam hal menjerap dan menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman, sehingga diharapkan serapan hara akan tinggi. Hasil analisis awal tanah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Rerata curah hujan bulanan selama penelitian adalah sebesar 128 mm/bulan, Hidayat et al., 2013 menyatakan bahwa besarnya evapotranspirasi potensial ETP tanaman kelapa sawit di lapangan sebesar 4 mm/hari atau sekitar 120 mm/bulan. Dengan demikian maka untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit dibutuhkan curah hujan setidaknya sama dengan kebutuhan air tanaman. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kebutuhan air bibit kelapa sawit selama penelitian dapat terpenuhi dari air Tanaman Tinggi dan diameter batang tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, dan P3 secara nyata lebih tinggi sekitar 32% dibanding perlakuan kontrol P0 Gambar 2. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bibit kelapa sawit membutuhkan hara yang cukup yang dalam hal ini diperoleh dari pupuk yang diaplikasikan. Suriatna 2002 menyatakan bahwa pada masa pe rt u mb uha n v eg e ta tif , t an a ma n s a ng at membutuhkan hara, terutama Nitrogen, sehingga apabila pada masa ini tanaman kekurangan hara khususnya Nitrogen, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Tambunan 2009 juga menyatakan bahwa tanaman membutuhkan hara yang cukup untuk proses fotosintesis guna menghasilkan fotosintat dan asimilat yang akan dimanfaatkan tanaman untuk keperluan pertumbuhan vegetatif. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 terhadap tinggi dan diameter batang tanaman, namun tinggi dan diameter batang tertinggi diperoleh pada perlakuan P3. Urutan pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah P3 > P1 > P2 > P0, sementara urutan pengaruh perlakuan terhadap diameter batang tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah mengikuti pola P3 > P2 > P1 > 1. Hasil analisis awal tanah yang digunakan sebagai media 1. Initial analysis of soil sample used as planting *atas dasar berat kering oven 105C, KT kation tertukar, Ă„KT Jumlah kation tertukar, KTK = kapasitas tukar kation, KB=kejenuhan basaNote * based on oven dry weight with 1050C; KT exchangeable cations; Ă„KT total of exchangeable cations; KTK cation exchange capacity; KB base Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Gambar 1. Curah hujan bulanan selama penelitianFigure 1. Monthly rainfall during the Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05Note Values followed by same letters are not significantly different based on Duncan test p=0,05Gambar 2. Rerata tinggi tanaman kiri dan diameter batang kanan pada setiap 2. Average of height of plant left and stem diameter right on each treatmentBerat Kering, Kadar Hara Tanaman, dan Serapan HaraPerlakuan pemupukan P1, P2 dan P3 secara nyata mempengaruhi bobot kering atas daun, pelepah dan batang dan akar tanaman dibandingkan control tanpa pupuk. Berat kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu sebesar 84,703 gram diikuti dengan perlakuan P3 dan P2 masing-masing sebesar 76,133 gam dan 73,180 gram yang berbeda nyata dengan berat kering total pada perlakuan P0 yang hanya sebesar 29,857 gram. Namun demikian hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 Tabel 2. Berat kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan tanaman yang mencerminkan status nutrisi tanaman dimana berat kering merupakan cerminan besarnya asimilat yang dapat dihasilkan melalui proses fotosintesis Syahrovy et al., 2015. 83Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis tanah awal dan curah hujan Fraksi tanah didominasi fraksi pasir yang mencapai 62%, sedangkan tekstur tanah tergolong lempung berpasir. Tanah tergolong masam dengan pH 5,7. Kadar C relatif rendah yaitu karena sampel tanah diambil dari lapisan sub soil yang tidak memperoleh akumulasi bahan organik langsung dari dekomposisi serasah tanaman. Kadar hara lain seperti N dan P serta K, Ca, Na, dan Mg yang merupakan kation tertukar juga tergolong rendah. Tingginya kandungan fraksi pasir, rendahnya C organik dan kapasitas tukar kation KTK tanah yang hanya sebesar 7,52 me/100 g merupakan beberapa indikator akan rendahnya kemampuan tanah dalam hal menjerap dan menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman, sehingga diharapkan serapan hara akan tinggi. Hasil analisis awal tanah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Rerata curah hujan bulanan selama penelitian adalah sebesar 128 mm/bulan, Hidayat et al., 2013 menyatakan bahwa besarnya evapotranspirasi potensial ETP tanaman kelapa sawit di lapangan sebesar 4 mm/hari atau sekitar 120 mm/bulan. Dengan demikian maka untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit dibutuhkan curah hujan setidaknya sama dengan kebutuhan air tanaman. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kebutuhan air bibit kelapa sawit selama penelitian dapat terpenuhi dari air Tanaman Tinggi dan diameter batang tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, dan P3 secara nyata lebih tinggi sekitar 32% dibanding perlakuan kontrol P0 Gambar 2. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bibit kelapa sawit membutuhkan hara yang cukup yang dalam hal ini diperoleh dari pupuk yang diaplikasikan. Suriatna 2002 menyatakan bahwa pada masa pe rt u mb uha n v eg e ta tif , t an a ma n s a ng at membutuhkan hara, terutama Nitrogen, sehingga apabila pada masa ini tanaman kekurangan hara khususnya Nitrogen, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Tambunan 2009 juga menyatakan bahwa tanaman membutuhkan hara yang cukup untuk proses fotosintesis guna menghasilkan fotosintat dan asimilat yang akan dimanfaatkan tanaman untuk keperluan pertumbuhan vegetatif. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 terhadap tinggi dan diameter batang tanaman, namun tinggi dan diameter batang tertinggi diperoleh pada perlakuan P3. Urutan pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah P3 > P1 > P2 > P0, sementara urutan pengaruh perlakuan terhadap diameter batang tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah mengikuti pola P3 > P2 > P1 > 1. Hasil analisis awal tanah yang digunakan sebagai media 1. Initial analysis of soil sample used as planting *atas dasar berat kering oven 105C, KT kation tertukar, Ă„KT Jumlah kation tertukar, KTK = kapasitas tukar kation, KB=kejenuhan basaNote * based on oven dry weight with 1050C; KT exchangeable cations; Ă„KT total of exchangeable cations; KTK cation exchange capacity; KB base Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Gambar 1. Curah hujan bulanan selama penelitianFigure 1. Monthly rainfall during the Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05Note Values followed by same letters are not significantly different based on Duncan test p=0,05Gambar 2. Rerata tinggi tanaman kiri dan diameter batang kanan pada setiap 2. Average of height of plant left and stem diameter right on each treatmentBerat Kering, Kadar Hara Tanaman, dan Serapan HaraPerlakuan pemupukan P1, P2 dan P3 secara nyata mempengaruhi bobot kering atas daun, pelepah dan batang dan akar tanaman dibandingkan control tanpa pupuk. Berat kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu sebesar 84,703 gram diikuti dengan perlakuan P3 dan P2 masing-masing sebesar 76,133 gam dan 73,180 gram yang berbeda nyata dengan berat kering total pada perlakuan P0 yang hanya sebesar 29,857 gram. Namun demikian hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 Tabel 2. Berat kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan tanaman yang mencerminkan status nutrisi tanaman dimana berat kering merupakan cerminan besarnya asimilat yang dapat dihasilkan melalui proses fotosintesis Syahrovy et al., 2015. 83Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 84Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pada bibit kelapa sawit, berat kering tajuk batang dan daun memiliki proporsi 61 - 71% dari berat kering total tajuk + akar tanaman. Dengan kata lain, biomassa akar bibit kelapa sawit dalam penelitian ini hanya sekitar 29-39% dari total biomassa bibit. Rata-rata berat kering pada perlakuan pemupukan dalam penelitian ini adalah sebesar 78,01 gram atau sekitar dua kali lebih tinggi dibanding rerata berat kering pada kontrol yang hanya sebesar 29,59 gram. Uji statistik menunjukkan bahwa kadar hara tanaman pada seluruh perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lain kecuali pada kadar hara Mg dimana perlakuan kontrol memiliki kadar hara Mg yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan Tabel 3. Hal ini diduga disebabkan adanya efek pengenceran dilution effect yang terjadi pada perlakuan P0, dimana kadar hara yang diperoleh dipengaruhi oleh berat bio massa yang dihasilkan. Jarrell dan Beverly, 1981 menyatakan bahwa ketika pertumbuhan tanaman dibatasi oleh ketersediaan hara, maka kecepatan akumulasi bahan kering tanaman meningkat lebih cepat dibanding kecepatan akumulasi hara, dan hal ini menyebabkan konsentrasi hara tanaman menjadi rendah. Serapan setiap hara merupakan hasil perkalian antara kadar hara tanaman dengan berat kering tanaman Li et al., 2015. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata pada serapan semua hara. Tabel 3 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 namun tidak berbeda nyata secara stastistik dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hara yang dilepaskan dari pupuk pada perlakuan P1 relatif lebih besar dibanding P2 dan P3. Diduga proses pelepasan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1 bertepatan dengan saat tanaman membutuhkan N, P, K, dan Mg untuk tumbuh dan berkembang. Dobermann 2007 menyatakan bahwa efisiensi serapan dipengaruhi oleh keseimbangan antara kebutuhan tanaman dengan jumlah hara yang dilepas dari pupuk. Selanjutnya Tambunan et al., 20 14 juga me ny at ak a n bah w a hal ya ng mempengaruhi efisiensi serapan hara adalah unsur hara yang dilepas dari pupuk, semakin banyak hara yang dilepas oleh pupuk maka akan semakin tinggi efisiensi pemupukan. Selain itu, serapan hara juga berhubungan erat dengan perkembangan perakaran tanaman. Pada perkembangan akar yang baik maka serapan hara juga akan semakin baik. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat kering akar tanaman pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 dan P3, yang mengindikasikan bahwa perkembangan akar tanaman pada perlakuan P1 lebih baik dibanding P2 dan P3. Hal ini diduga disebabkan oleh efektivitas dari pupuk briket pada perlakuan P1 yang lebih tinggi dibanding perlakuan 2. Rerata berat kering atas, akar dan total tanaman pada setiap perlakuanTable 2. Average of upper plant dry weight, roots, and total on each treatmentKeterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Tabel 3. Rerata kadar hara dan serapan hara tanaman pada setiap 3. Average of plant nutrients content and nutrient uptake on each Use Eficiency NUE Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologi PE dan Efisiensi Agronomis AE Efisiensi serapan h a ra R E m e r u pakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap oleh tanaman dengan jumlah hara yang diberikan lewat pupuk. Besarnya serapan hara pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, P3 nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol P0. Penambahan hara lewat pupuk pada perlakuan pemupukan menyebabkan jumlah hara yang tersedia di dalam tanah menjadi lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol, sehingga hara yang diserap bibit kelapa sawit pada perlakuan pemupukan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Secara statistik, efisiensi serapan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan serapan hara, efisiensi serapan hara tertinggi pada penelitian ini juga diperoleh pada perlakuan P1. Rata-rata efisiensi serapan hara N pada penelitian ini sebesar 13,22% yang mengindikasikan sekitar 87% hara N hilang dari sejumlah hara N yang diberikan. Zerpa dan Fox 2011, Kissel et al., 2009 serta Elliot dan Fox 2014 menyatakan bahwa hilangnya N dari pupuk akibat penguapan berkisar antara 10-50%. Nilai efisiensi serapan N tersebut masih terlalu kecil jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa nilai serapan hara N oleh tanaman umumnya sebesar 30-50% Sheoran et al., 2016. Hal ini disebabkan sangat dinamisnya hara N di dalam tanah, dimana hara N mengalami denitrifikasi dan volatilisasi atau terkadang terimmobilisasi di dalam bahan organik tanah. Dari seluruh hara yang diamati serapan hara P memiliki serapan paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan unsur P yang rendah di dalam tanah. Efisiensi serapan hara P Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.85Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 84Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pada bibit kelapa sawit, berat kering tajuk batang dan daun memiliki proporsi 61 - 71% dari berat kering total tajuk + akar tanaman. Dengan kata lain, biomassa akar bibit kelapa sawit dalam penelitian ini hanya sekitar 29-39% dari total biomassa bibit. Rata-rata berat kering pada perlakuan pemupukan dalam penelitian ini adalah sebesar 78,01 gram atau sekitar dua kali lebih tinggi dibanding rerata berat kering pada kontrol yang hanya sebesar 29,59 gram. Uji statistik menunjukkan bahwa kadar hara tanaman pada seluruh perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lain kecuali pada kadar hara Mg dimana perlakuan kontrol memiliki kadar hara Mg yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan Tabel 3. Hal ini diduga disebabkan adanya efek pengenceran dilution effect yang terjadi pada perlakuan P0, dimana kadar hara yang diperoleh dipengaruhi oleh berat bio massa yang dihasilkan. Jarrell dan Beverly, 1981 menyatakan bahwa ketika pertumbuhan tanaman dibatasi oleh ketersediaan hara, maka kecepatan akumulasi bahan kering tanaman meningkat lebih cepat dibanding kecepatan akumulasi hara, dan hal ini menyebabkan konsentrasi hara tanaman menjadi rendah. Serapan setiap hara merupakan hasil perkalian antara kadar hara tanaman dengan berat kering tanaman Li et al., 2015. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata pada serapan semua hara. Tabel 3 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 namun tidak berbeda nyata secara stastistik dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hara yang dilepaskan dari pupuk pada perlakuan P1 relatif lebih besar dibanding P2 dan P3. Diduga proses pelepasan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1 bertepatan dengan saat tanaman membutuhkan N, P, K, dan Mg untuk tumbuh dan berkembang. Dobermann 2007 menyatakan bahwa efisiensi serapan dipengaruhi oleh keseimbangan antara kebutuhan tanaman dengan jumlah hara yang dilepas dari pupuk. Selanjutnya Tambunan et al., 20 14 juga me ny at ak a n bah w a hal ya ng mempengaruhi efisiensi serapan hara adalah unsur hara yang dilepas dari pupuk, semakin banyak hara yang dilepas oleh pupuk maka akan semakin tinggi efisiensi pemupukan. Selain itu, serapan hara juga berhubungan erat dengan perkembangan perakaran tanaman. Pada perkembangan akar yang baik maka serapan hara juga akan semakin baik. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat kering akar tanaman pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 dan P3, yang mengindikasikan bahwa perkembangan akar tanaman pada perlakuan P1 lebih baik dibanding P2 dan P3. Hal ini diduga disebabkan oleh efektivitas dari pupuk briket pada perlakuan P1 yang lebih tinggi dibanding perlakuan 2. Rerata berat kering atas, akar dan total tanaman pada setiap perlakuanTable 2. Average of upper plant dry weight, roots, and total on each treatmentKeterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Tabel 3. Rerata kadar hara dan serapan hara tanaman pada setiap 3. Average of plant nutrients content and nutrient uptake on each Use Eficiency NUE Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologi PE dan Efisiensi Agronomis AE Efisiensi serapan h a ra R E m e r u pakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap oleh tanaman dengan jumlah hara yang diberikan lewat pupuk. Besarnya serapan hara pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, P3 nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol P0. Penambahan hara lewat pupuk pada perlakuan pemupukan menyebabkan jumlah hara yang tersedia di dalam tanah menjadi lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol, sehingga hara yang diserap bibit kelapa sawit pada perlakuan pemupukan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Secara statistik, efisiensi serapan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan serapan hara, efisiensi serapan hara tertinggi pada penelitian ini juga diperoleh pada perlakuan P1. Rata-rata efisiensi serapan hara N pada penelitian ini sebesar 13,22% yang mengindikasikan sekitar 87% hara N hilang dari sejumlah hara N yang diberikan. Zerpa dan Fox 2011, Kissel et al., 2009 serta Elliot dan Fox 2014 menyatakan bahwa hilangnya N dari pupuk akibat penguapan berkisar antara 10-50%. Nilai efisiensi serapan N tersebut masih terlalu kecil jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa nilai serapan hara N oleh tanaman umumnya sebesar 30-50% Sheoran et al., 2016. Hal ini disebabkan sangat dinamisnya hara N di dalam tanah, dimana hara N mengalami denitrifikasi dan volatilisasi atau terkadang terimmobilisasi di dalam bahan organik tanah. Dari seluruh hara yang diamati serapan hara P memiliki serapan paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan unsur P yang rendah di dalam tanah. Efisiensi serapan hara P Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.85Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan umumnya rendah hal ini dikarenakan hara P merupakan salah satu hara yang memiliki mobilitas dan ketersediaan yang rendah di dalam tanah yang disebabkan oleh adanya fiksasi P oleh unsur lain Roberts, 2008; Shaheen et al., 2007. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antara serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman terhadap berat kering tanaman. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi serapan hara maka semakin tinggi berat kering tanaman, yang berarti kebutuhan hara tanaman sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini menunjukkan ada hubungan liner antara kebutuhan hara dengan fase pertumbuhan tanaman, dimana semakin berkembangnya vegetatif tanaman maka semakin banyak hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Efisiensi fisologis menggambarkan besarnya peningkatan produksi berat kering dari setiap gram hara yang diserap tanaman. Tabel 4 menunjukkan efisiensi fisiologis dari masing-masing perlakuan bervariasi terhadap masing-masing jenis hara. Efisiensi fisiologis hara P diperoleh pada perlakuan P2 yang berbeda nyata dengan P3 namun tidak berbeda nyata dengan P1, selanjutnya efisiensi fisiologis hara K nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yang berbeda nyata dengan P3 namun tidak berbeda nyata dengan P2. Sementara untuk efisiensi hara N dan Mg masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Pola efisiensi fisiologis dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil adalah P > Mg > N > K. Pola ini menggambarkan bahwa dalam penelitian ini, hara P merupakan hara yang memiliki kontribusi yang paling besar terhadap peningkatan berat kering tanaman, diikuti hara Mg, N, dan K. Dengan kata lain, dibanding hara N, K, dan Mg, tanaman memberikan respon yang paling besar terbesar terhadap hara P. Hal ini mungkin disebabkan hara P merupakan hara yang menjadi faktor pembatas terbesar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibanding hara lainnya. Efisiensi agronomis AE merupakan ukuran peningkatan hasil, dalam hal ini berat kering tanaman, dari setiap unit hara yang berikan lewat pupuk. Dengan kata lain, efisiensi agronomis menggambarkan respon tanaman terhadap hara yang diberikan. Niai efisiensi Gambar 3. Hubungan serapan hara tanaman dengan berat kering tanamanFigure 3. Correlation between plant nutrients uptake with dry weight Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta agronomis tertinggi untuk semua jenis hara N, P, K, dan Mg dalam penelitian ini diperoleh pada perlakuan P1 Tabel 4. Hal ini mungkin berkaitan dengan ukuran partikel sebenarnya dari pupuk briket yang lebih halus dibanding jenis pupuk lainnya. Ukuran butiran tunggal dari pupuk yang digunakan dalam penelitian ini memang lebih besar disbanding jenis pupuk lainnya, namun pada dasarnya pupuk briket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pressing dari butiran-butiran halus pupuk sehingga membentuk ukuran yang lebih besar. Adanya proses pressing dari pupuk briket tersebut diduga berpengaruh dalam meningkatkan sifat slow release dari pupuk briket. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan 4. Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologis PE dan Efisiensi Agronomis AE pada masing-masing perlakuanTable 4. Nutrient uptake efficiency RE, Physiology Efficiency PE, and Agronomic Efficiency on each treatment Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai efisiensi agronomis dari yang terbesar sampai yang terkecil mengikuti pola Mg > P > N > K. Pola nilai efisiensi agronomis ini berbanding terbalik dengan pola banyaknya hara yang diaplikasikan, dimana dalam penelitian ini jumlah hara yang diaplikasikan dari yang terkecil sampai yang terbesar mengikuti pola Mg Mg > N > K. Pola ini menggambarkan bahwa dalam penelitian ini, hara P merupakan hara yang memiliki kontribusi yang paling besar terhadap peningkatan berat kering tanaman, diikuti hara Mg, N, dan K. Dengan kata lain, dibanding hara N, K, dan Mg, tanaman memberikan respon yang paling besar terbesar terhadap hara P. Hal ini mungkin disebabkan hara P merupakan hara yang menjadi faktor pembatas terbesar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibanding hara lainnya. Efisiensi agronomis AE merupakan ukuran peningkatan hasil, dalam hal ini berat kering tanaman, dari setiap unit hara yang berikan lewat pupuk. Dengan kata lain, efisiensi agronomis menggambarkan respon tanaman terhadap hara yang diberikan. Niai efisiensi Gambar 3. Hubungan serapan hara tanaman dengan berat kering tanamanFigure 3. Correlation between plant nutrients uptake with dry weight Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta agronomis tertinggi untuk semua jenis hara N, P, K, dan Mg dalam penelitian ini diperoleh pada perlakuan P1 Tabel 4. Hal ini mungkin berkaitan dengan ukuran partikel sebenarnya dari pupuk briket yang lebih halus dibanding jenis pupuk lainnya. Ukuran butiran tunggal dari pupuk yang digunakan dalam penelitian ini memang lebih besar disbanding jenis pupuk lainnya, namun pada dasarnya pupuk briket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pressing dari butiran-butiran halus pupuk sehingga membentuk ukuran yang lebih besar. Adanya proses pressing dari pupuk briket tersebut diduga berpengaruh dalam meningkatkan sifat slow release dari pupuk briket. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan 4. Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologis PE dan Efisiensi Agronomis AE pada masing-masing perlakuanTable 4. Nutrient uptake efficiency RE, Physiology Efficiency PE, and Agronomic Efficiency on each treatment Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai efisiensi agronomis dari yang terbesar sampai yang terkecil mengikuti pola Mg > P > N > K. Pola nilai efisiensi agronomis ini berbanding terbalik dengan pola banyaknya hara yang diaplikasikan, dimana dalam penelitian ini jumlah hara yang diaplikasikan dari yang terkecil sampai yang terbesar mengikuti pola Mg 50% oleic unsaturated fatty acid and 2000 ppm of carotene content were found in the first pseudo-backcross population. Correlation analysis among fatty acids in every populations are also presented in this paper which shows slightly different relationships between hybrid and first pseudo-backcross populations. Further research is required such as tissue culture techniques and association studies to accelerate the use of E. oleifera descendant Elaeis oleifera, Elaeis guineensis, pseudo-backcross, fatty acids, Adriwan Siregar, Hernawan Yuli Rahmadi, Sri Wening, dan Edy Suprianto Abstrak Tiga ratus sembilan puluh lima contoh pohon terdiri dari populasi liar Elaeis oleifera origin Brazil dan Suriname, turunan hibridanya dengan Elaeis guineensis, dan pseudo-backcross pertama berhasil diama t i a sam lema k dan total karo t enn y a mengg u n a k a n gas chromatography dan U V spectrophotometry. Pengamatan dilakukan terhadap lebih dari 648 buah tandan dalam selang waktu 17 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi asam lemak dan total karoten pada populasi F1 dan pBC1 memiliki keragaman yang lebih luas dibanding varietas komersial di Indonesia saat ini. Populasi pseudo-backcross pertama baik dari E. oleifera origin Brazil maupun Suriname lebih berpotensi diintrogresikan ke dalam program pemuliaan saat ini dibanding populasi liar dan hibridanya disebabkan pertumbuhan batang yang sudah mewarisi sifat E. guineensis. Berhasil ditemukan pada populasi pseudo-backcross pertama, beberapa individu dengan kandungan asam lemak tak jenuh oleat dengan nilai >50% dan kandungan karoten 2000 ppm. Analisis korelasi antar-asam lemak pada setiap populasi juga dipaparkan dalam tulisan ini yang menunjukkan hubungan yang sedikit berbeda antara populasi hibrida dan pseudo-backcross pertama. Penelitian lebih lanjut seperti teknik kultur jaringan dan association studies diperlukan untuk percepatan penggunaan material turunan E. oleifera. Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa SawitHeri Adriwan Siregar *Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail heriadriwan 91Naskah masuk 29/05/2018; Naskah diterima 28/08/2018 berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan ... B Grain yield obtained from the use of standard fertilizers C Grain yield obtained without the use of fertilizers control d. Fertilizer Efficiency Fertilizer efficiency is the result of the division between grain weight kg ha -1 in NPK-fertilized treatment minus the yield in the control treatment divided by the amount of fertilizer used kg ha -1 Tambunan et al., 2014, Ginting et al., 2018 ... Antonius KasnoKiki ZakiahI Wayan SuastikaThe quality and effective fertilizers support site-specific nutrient management of paddy fields, which can increase yields and efficiency of fertilizer. Fertilizer formulas should be based on soil nutrient status and crop requirements. This study aims to examine the reformulation of compound NPK fertilizers for lowland rice. The study was conducted in Cibungbulang, Bogor Regency from October 2020 - March 2021. The experimental design was carried out using a randomized complete block design with 10 treatments, and 3 replications. The treatments consisted of five levels of NPK 15-10-12 fertilizer doses, plus control treatment, NPK 15-15-15 and single NPK as standard, and additional treatment with the addition of straw compost. The plots were made measuring 5 m x 5 m. The results showed that statistically, the application of NPK 15-10-12 fertilizer gave the same effect on plant height, the number of tillers, weight of dry grain harvested, the weight of dry milled grain, and weight of dry straw compared to single NPK fertilizer and NPK 15-15-15. The optimum dose of NPK 15-10-12 fertilizer for lowland rice is 220 kg ha-1 combined with Urea at a dose of 225 kg ha-1. At the same dose 300 kg ha-1 the efficiency of NPK 15-10-12 fertilizer kg grain kg-1 fertilizer was higher than NPK 15-15-15 fertilizer kg grain kg-1 fertilizer. Higher efficiency is indicated by lower fertilization doses. The RAE value of NPK 15-10-12 142% was higher than that of NPK 15-15-15 at the same dose and single NPK. This research implies that the formula for compound NPK 15-10-12 fertilizer can be used as a substitute for compound NPK 15-15-15 fertilizer.... K o n s e n t r a s i h a r a d a u n menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada pemberian pupuk anorganik briket dibandingkan tanpa pemupukan. Penelitian Ginting et al. 2018 juga menunjukkan konsentrasi hara N, P, dan K pada pembibitan tanaman kelapa sawit dalam polibeg yang tidak berbeda nyata pada pemberian pupuk anorganik lambat tersedia berbentuk briket dibandingkan tanpa pemupukan. Hal tersebut dikarenakan pupuk anorganik lambat tersedia akan melepas hara kumulatif dalam jumlah yang lebih kecil dalam waktu yang sama dibandingkan pupuk tunggal Hanifah et al., 2019. ...Riko Cahya PutraUmi HidayatiPemupukan anorganik memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman karet pada pembibitan root trainer. Pemupukan anorganik pada pembibitan tanaman karet selain diberikan dalam bentuk cair dapat juga diberikan dalam bentuk padat seperti pupuk briket yang memiliki sifat lambat tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman karet pada pembibitan root trainer terhadap pemberian pupuk anorganik briket. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Unit Riset Bogor-Getas, Salatiga, Jawa Tengah pada bulan April sampai September 2020. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 8 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan terdiri atas 1kontrol tanpa pemupukan; 2pupuk cair 2 minggu; 3briket 5 g/tanaman; 4briket 10 g/tanaman; 5briket 5 g/tanaman + pupuk cair 2 minggu; 6briket 10 g/tanaman + pupuk cair 2 minggu; 7briket 5 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu; 8briket 10 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu. Pemberian pupuk anorganik briket tidak menunjukkan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, bobot akar, bobot tanaman, dan kandungan hara daun dibandingkan tanpa pemupukan. Efektivitas agronomi relatif tertinggi ditunjukkan pada perlakuan briket 10 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu dengan RAE 145%. Hal tersebut berarti bahwa penambahan pupuk anorganik briket 10 g/tanaman dapat mengurangi frekuensi pupuk cair dengan efektivitas agronomi relatif yang sudah lebih tinggi 45% dibandingkan pupuk cair 2 minggu. Kata kunci pupuk briket; pupuk cair; pembibitan karet; root trainer... Root morphological conditions such as thickness, length, and the number of roots affect optimal nutrient uptake Biswas et al., 2000. The better the root development, then the better the nutrient uptake that seedlings Ginting et al., 2018a. ...Siti Hanna GhaidaBasuki WasisSRI WILARSO BUDILimestone mining has the potential into environmental damage that involve modify an ecosystem. The attempt that contrived to reduce the disturbances are rehabilitation. This research was conducted to examine the growth response of Leucaena leucocephala inoculated with AMF and soil ameliorant in a limestone post-mining soil. The design used was a split-plot design in a completely randomized design with 3 factors. The first factor was AMF inoculum Daemonorops draco AMF and MycoSilvi, the second factor was organic fertilizer of compost, and the third factor was inorganic fertilizer. The variables used in this study expressed by height, diameter, biomass, root colonization, and nutrient absorption of the plant. The analysis showed that the combination of MycoSilvi and compost gave best result of height, diameter, and biomass, with significantly increased by and to control plant. It also gave best result of nutrient uptake N, P, and K, with significantly increased up to g plant-1, g plant-1, and g plant-1. In general, AMF showed a good percentage of root colonization with an average Further research is needed to determine the response to the growth of seedlings planted in the is one type of soil that has a very wide distribution in Indonesia, but the use of this soil faces many obstacles. The main problem in ultisol utilization is the low availability of phosphorus P and the low absorption efficiency. Coal fly ash CFA is a material that can overcome these problems. The objective of this study was to examine the effect of Application CFA on several soil chemical properties pH, exchangeable Al, exchangeable Ca and available P, plant growth, yield, and absorption efficiency of P fertilizer. This study used a completely randomized factorial design consisting of two factors. The first factor was CFA that consisted of three levels of treatment, namely A0 = 0 t ha-1 or without CFA, A1 = 40 t CFA ha-1, A2 = 80 t CFA ha-1. The second factor was P fertilizer that consisted of four levels of treatment, namely P0 = 0 kg ha-1, P1 = 30 kg P ha-1, P2 = 60 kg P ha-1 and P3 = 90 kg P ha-1. The results of the study showed that the application of 80 t CFA ha-1 increased the pH by reduced exchangeable Al by and increased exchangeable by Ca compared to control. The combination 80 t CFA ha-1 and 90 kg P ha-1 increased available P by compared to control. The application of 80 t CFA ha-1 resulted in the highest total plant dry weight and total P uptake. The treatment resulted in total plant dry weight of g and total P uptake of mg plant-1, increased and respectively compared to the control. The application of 90 kg P fertilizer ha-1 resulted in the highest total dry weight of maize, and total P uptake, namely g and mg plant-1, respectively, which means that the total plant dry weight increased by and the total uptake P increased compared to control. The highest seed dry weight was obtained in the combination of 80 t CFA ha-1 and 90 kg P ha-1, namely g, an increase of compared to the control. The combination of 40 t CFA ha-1 and 30 kg P ha-1 resulted in the highest absorption efficiency of P fertilizer, namely This means that in this treatment, maize can absorb of the applied P field experiment was conducted to study the effects of N fertilization on uptake, accumulation/remobilization, use efficiency and yield of sunflower grown in alluvial plains of northwestern India comprising four hybrids PSH 996, PAC 3789, PSH 569 and SH 3322 and five N levels Control, 40, 80, 100 and 120 kg N ha-1 in split-plot design with three replications. Increased N fertilizer rates significantly prompted sunflower yield only up to 100 kg N ha-1. Every additional kilogram of N taken up increased sunflower yield by 26 kg ha-1. Significant genetic variation for seed yield and NUE traits explicated PSH 569 as the efficient one at sub-optimal N application while PSH 996 outperformed others at N80, N100 and N120. Dry matter accumulation pattern revealed average harvest index of 30% with 29% of the biomass as stalk, 19% as leaf and 22% as thalamus. Temporal changes in N acquisition indicated most of the total N uptake upto 50% flowering while maximum remobilization takes place during reproductive phase. Significant correlation between N uptake and N use efficiency parameters with yield indicate the importance of N nutrition in sunflower; LAI r= N uptake r= NUpE r= NUtE r= NUE r= Variation in NUE was more closely associated with NUpE r= than NUtE r= and linearly decreased with increasing leaf greenness R2= and total leaf area R2= This work will complement other studies to establish a baseline for breeding N efficient sunflower genotypes be grown under semi-arid tropical conditions in India and similar environments. © 2016, GORGAN UNIV AGRICULTURAL SCIENCES AND NATURAL RESOURCES. All rights reserved. Terry RobertsPublic interest and awareness of the need for improving nutrient use efficiency is great, but nutrient use efficiency is easily misunderstood. Four indices of nutrient use efficiency are reviewed and an example of different applications of the terminology show that the same data set might be used to calculate a fertilizer N efficiency of 21% or 100%. Fertilizer N recovery efficiencies from researcher managed experiments for major grain crops range from 46% to 65%, compared to on-farm N recovery efficiencies of 20% to 40%. Fertilizer use efficiency can be optimized by fertilizer best management practices that apply nutrients at the right rate, time, and place. The highest nutrient use efficiency always occurs at the lower parts of the yield response curve, where fertilizer inputs are lowest, but effectiveness of fertilizers in increasing crop yields and optimizing farmer profitability should not be sacrificed for the sake of efficiency alone. There must be a balance between optimal nutrient use efficiency and optimal crop Robertson Elliot Thomas R. FoxVolatilization losses following fertilization with urea or ureaform applied at a rate of 448 kg ha-1 N were measured in a thinned 22-yr-old loblolly pine Pinus taeda L. plantation in the Virginia Piedmont. Fertilizer was applied at two different times, winter and summer, and NH3 volatilization was measured for 29 d using a static chamber method. The majority of the NH3 volatilization occurred during the first 7 to 9 d following fertilization. Larger amounts of NH3 were volatilized following fertilization with urea than with ureaform. Following application in the summer, 51% of the applied N was volatilized from urea while only 7% of the applied N was volatilized from ureaform. The amount of N volatilized following urea application in the winter was 18% compared to 11% following ureaform application. This study highlights the risks of N loss through volatilization associated with urea fertilization, especially when it is applied during the growing season. These results also indicate that slow release N fertilizers such as ureaform can decrease volatilization losses following surface application in loblolly pine forest ecosystems and may, therefore, increase N uptake by the trees. Zhenli HeAims To evaluate the effects of soil K levels deficit to excess on nutrient uptake parameters concentration, uptake, influx, transport and use efficiency ratios of macro and micro nutrients in different cacao Theobroma cacao L. genotypes. Methodology Seedlings of three cacao genotypes Amelonado, EET-400 and ICS 95 were grown for 90 days in a plant growth chamber with three levels of K 52, 156, and 469 mg K plant-1 in the growth medium. The experiment was a split plot design with genotypes as the main plots and K levels as the subplots with three replications. Nutrient uptake parameters were investigated. Results Significant P< and K effects were observed on the nutrient uptake parameters of various macro and micro nutrients in cacao. Increasing K in the soil significantly increased K P< and Zn P< concentrations and significantly P< reduced the P, Ca, Mg, and Mn concentrations in cacao plants. Overall uptake of P, Ca, Mg, Fe, and Mn decreased and uptake of N, K, Cu and Zn increased with increasing soil K levels. Increasing the K levels of the soil significantly at P< and P< increased the efficiency ratio ER for P, Ca, Mg, Mn and N respectively in cacao. Increasing K levels of the soil significantly P< and decreased ER for K and Zn respectively in cacao. For all of the soil K levels, Amelonado genotype was most efficient in utilization of absorbed Fe, Mn and Zn, whereas ICS 95 genotype was most efficient in utilization of absorbed N, P, Ca, Mg, B, and Cu. Conclusion At varying soil K levels, cacao genotypes used in this study showed significant differences in macro and micro nutrient uptake, nutrient influx and transport and nutrient use efficiency. Soil K levels have significant effects on nutrient uptake parameters of L. Zerpa Thomas R. FoxAmmonia volatilization losses from surface applied urea could reduce the N-use efficiency in loblolly pine Pinus taeda L. plantations. Three field studies were conducted to assess the effectiveness of two urea formulations coated-urea fertilizer CUF and the urease inhibitor N-n-butyl thiophosphoric triamide-treated urea NBPT at reducing ammonia NH3 losses in loblolly pine plantations under different forest floor moisture dry vs. wet, substrate forest floor vs. mineral soil, and site/soil type conditions Piedmont vs. Coastal Plain. An additional laboratory study under controlled environmental conditions helped validate the results from the field. Ammonia volatilization losses were influenced more by the initial forest floor moisture than by the fertilizer formulations and were 43% lower when the fertilizer treatments were applied directly on the forest floor than on the exposed mineral soil. The average NH3 losses, expressed as a percentage of applied N, in the Piedmont ranged from 1 to 9%, and from 7 to 16%, 7 and 30 d aft er fertilization, respectively. At Day 7, both CUF and NBPT reduced NH3 losses, as compared with untreated urea, by 39 and 80%, respectively. In the Coastal Plain, NH3 losses ranged from 7 to 17%, 7 d aft er fertilization. Both CUF and NBPT reduced NH3 losses, as compared with untreated urea, by 35 and 25%, respectively. This difference in treatment ranking between sites suggests a fertilizer by site/soil type interaction which the laboratory study confirmed. These results highlight the importance of knowing the environmental and site conditions before fertilization and can help decide where and when these formulations might be used more enhance the effectiveness of fertilizers, a novel double-coated slow-release fertilizer was developed using ethyl cellulose EC as inner coating and starch-based superabsorbent polymer starch-SAP as outer coating. For starch-SAPs synthesized by a twin-roll mixer using starches from three botanical origins, a reduced grid size and an increased fractal gel size on nano-scale increased stretch of 3D network contributed to increasing the water absorbing capacity with a reduced absorbing rate and thus improving the slow-release property of fertilizer. The fertilizer particles coated with starch-SAP displayed well slow-release behaviors. In soil, compared to urea particles without and with EC coating, the particles further coated with starch-SAP showed reduced nitrogen release rate, and in particular, those with potato starch-SAP coating exhibited a steady release behavior for a period longer than 96 h. Therefore, this work has demonstrated the potential of this new slow-release fertilizer system for improving the effectiveness of fertilizers. Wesley JarrellR. B. BeverlyThis chapter discusses the dilution effect in plant nutrition studies. “Environmental conditions” include changes in the soil environment because of the addition of inorganic and organic materials, and water to soil, as well as temperature and light, the application of living organisms such as rhizobia and mycorrhizal fungi, and the inclusion of toxic materials such as heavy metals. A summary is presented of the physical, chemical, and biological reasons that accounts for the observed changes in the rate of nutrient uptake, and the rate of dry matter accumulation as functions of time. The chapter proposes that data on total uptake and total dry matter yield be considered wherever possible, and that consideration of these factors be coupled with consideration of concentrations. In instances where total nutrient uptake is difficult to calculate, it is suggested that this be estimated by the product of concentration and yield. The effect of a chemical or environmental treatment on the concentration of a nutrient in the plant will be considered in two categories—noninteractive and interactive. Of these two, the interactive effects have been most carefully studied in soil-plant nutrition use of urea and urea-based fertilizers has increased considerably over the past 15 years. They currently account for approximately 51% of the world's agricultural nitrogen consumption. However, about 20–70% of the applied urea fertilizer is lost to the environment, causing serious pollution and increasing costs. These losses come from leaching, decomposition, and ammonium volatilization in the soil during handling and storage. Controlled release by coating can be used to increase urea fertilizer efficiency. We studied the use of gypsum, sulfur, and ground magnesium lime as cost-effective coating materials. All these coating materials contain nutrients required by plants. The effects of the coating composition and proportion of sealant on the rate of urea release and the crushing strength of the coated urea were investigated. We found that coated urea with the same proportion of gypsum–ground magnesium lime GML exhibited low urea release and high crushing strength. The performance was enhanced when using polyols as a sealant on the surface of the coated urea. A surface morphology analysis indicated a uniform and smooth surface on the coated film. The efficiency of the coated urea improved by when using gypsum–GML 11 ratio containing fertilizer CRF use is a best management practice that may reduce nitrogen N loss to the environment. Several factors affect CRF nutrient release; therefore, including CRF in a fertilization program may have challenges. Thus, the study objective was to evaluate the effects ofCRFN rate, source, release duration, and placement on seepage-irrigated marketable tomato Solanum lycopersicum L. yield, leaf tissue N LTN concentration, post-season soil N content, and postharvest fruit firmness and color. There were two soluble fertilizer SF controls [University of Florida/Institute of Food and Agriculture Sciences UF/IFAS 224 kghaL1 and grower standard 280 kghaL1] and six and seven CRF treatments alone or in combination with SF in Fall 2011 and 2012, respectively. Cumulative rainfall totaled and cm during the 2011 and 2012 seasons with average air temperatures of and 8C, respectively. Soil temperatures ranged from to 8C in 2011 and to 8C in 2012 with a strong correlation r = to air temperature. Controlled-release urea resulted in to plant mortality in 2011 and reduced yields in 2012 compared with CRF N– phosphorus–potassium NPK at a similar N rate. LTN concentrations were above or within the sufficiency range for all treatments. In 2011, using CRF-urea at 190 kghaL1 N produced similar marketable tomato yield in all fruit categories except season total large tomatoes, which produced significantly fewer marketable tomatoes with MghaL1 compared with UF/IFAS and grower standard with and MghaL1, respectively. In 2012, CRF-NPK 168 kghaL1 N significantly reduced first and second harvest combined large and season total large and total marketable yields compared with the UF/ IFAS rate and grower standard treatments. Marketable yield was not significantly affected by CRF urea or NPK release duration, but CRF-NPK 180-day release duration significantly increased residual soil N in 2012 compared with CRF-NPK 120-day release with and kghaL1 N, respectively. Rototilling CRF-urea into the bed, which was only evaluated in 2011, significantly increased total season yields compared with CRFurea broadcast in row before bedding BIR with and MghaL1, respectively. There were no significant yield differences when 50% or 75% of the total N was CRF placed in the hybrid fertilizer system, which is a system with CRF placed BIR with the remaining N as SF-N banded on the bed shoulders. No significant differences among treatments were found for total residual soil N in 2011; however, higher soil N remained in CRF NPK and urea treatments compared with SF treatments in 2012, except for Treatment 9. No significant differences were found among treatments for fruit firmness or color in 2011 or 2012. CRF-NPK at 190 to 224 kghaL1 N with a 120-day release may be recommended as a result of similar or greater first harvest and total season marketable yields compared with IFAS-recommended rates and low residual soil N. Further research must be conducted to explore CRF placement and percentage urea composition, although use of the hybrid system or rototilling may be recommended. PupukPembesar Buah Kelapa Sawit : Jenis, Kandungan Jul 19, 2021· Saat pertumbuhan kelapa sawit belum menunjukkan pertumbuhan buah kelapa sawit yang kurang maksimal, Anda bisa mengaplikasikan Pupuk Organik Cair GDM Spesialis Perkebunan Kelapa Sawit dengan takaran 100 ml/tanaman setiap 2 bulan sekali. Table Of Content [ Close ] Menginfentarisasi Kebutuhan Pupuk Suatu Tanaman Berdasar Dosis Anjuran Lihat Referensi, Misal Dari Departemen Pertanian. Apabila Kau Tengah Mencari Tulisan Mengenai Cara Menabur Pupuk Sawit, Kamu Ada Pada Daerah Yang Hitung Dosis Per Liter = 200/400 L X 1 L = 0,5 Ml/ 15/100 X 533 Kg = 80 Cara Memberikan Pupuk Npk 16 16 16 Pada Tanaman Menghitung Dosis Pupuk Kelapa Sawit. Cara menghitung dosis pupuk tanaman durian kampustani com. Untuk membeli pestisida, pupuk, bibit, benih Menghitung Dosis Pupuk Kelapa Sawit Harga Pupuk Kelapa Sawit from harga memberikan pupuk npk 16 16 16 pada tanaman youtube. Proses pemupukan tanaman kelapa sawit juga harus dilakukan sesuai dengan waktu dan pertumbuhan tanaman itu sendiri. Volume tanah 1 ha = 10000 m2 x 20 Kebutuhan Pupuk Suatu Tanaman Berdasar Dosis Anjuran Lihat Referensi, Misal Dari Departemen Pertanian.About press copyright contact us creators advertise developers terms privacy policy & safety how youtube works test new features press copyright contact us creators. Begini cara menghitung dosis pupuk pertanaman dan cara menghitung unsur hara mengetahui macam. Langkah untuk menghitung kebutuhan pupuk tersebut adalah sebagai berikutApabila Kau Tengah Mencari Tulisan Mengenai Cara Menabur Pupuk Sawit, Kamu Ada Pada Daerah Yang tanaman, gejala defisiensi hara, kondisi lahan dan harga pupuk. Metode dan dosis pemupukan kelapa sawit pemupukan boleh dilakukan dengan menggunakan metode atausistem tebar dan sistem benam. Cara menghitung dosis pupuk tanaman durian kampustani Dosis Per Liter = 200/400 L X 1 L = 0,5 Ml/ pemupukan tanaman kelapa sawit juga harus dilakukan sesuai dengan waktu dan pertumbuhan tanaman itu sendiri. Volume tanah 1 ha = 10000 m2 x 20 cm. Rancangan yang digunakan adalah faktorial tunggal, dosis pupuk dolomit, yang disusun dalam lingkungan acak kelompok dengan tiga X 533 Kg = 80 untuk 1 tangki 14 liter = 0,5 ml/l x 14 = 7 ml/14 l atau 7 ml/tangki. Cara penggunaan pupuk npk dengan baik untuk tanaman cabe dan tanaman lainnya youtube Untuk membeli pestisida, pupuk, bibit, benih Memberikan Pupuk Npk 16 16 16 Pada Tanaman normal, karena cara menabur p. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam penentuan jenis pupuk antara lain Kapasitas tangki = 14 liter. dosis kelapa menghitung sawit

MakaJual Pupuk Kelapa Sawit Terbaik NPK Super, dapatkah boron ditempatkan pada tanaman kelapa sawit utk menghambat penurunan mutu tanaman? Pada prinsipnya kala kelapa sawit kekurangan boron tanda-tandanya dapat cepat kelihatan. Dolomit atau Zeagro 1 dengan cara sama rata di permukaan tanah. Dosis kapur yang di dapatkan kira-kira pada 0, 75

Pemupukan merupakan salah satu syarat pemeliharaan tanaman termasuk pada tanaman kelapa sawit yang selama ini menjadi penghasil bahan baku utama untuk produksi minyak sawit. Namun sering terjadi persoalan-persoalan yang dialami para petani saat proses pemupukan seperti jenis pupuk yang tidak tepat dan dosis pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan dilapangan sehingga para petani mendapatkan hasil panen yang tidak sebanding dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan untuk penggunaan pupuk. untuk mengatasi persoalan mengenai penentuan jumlah dosis pupuk diterapkan metode simple additive weightig SAW yang diimplementasikan dalam sistem pengambilan keputusan dalam menentukan dosis pemupukan pada tanaman kelapa sawit dengan menggunakan pupuk organik cair POC NASA. Proses pengolahan data yang telah didapat dari hasil pengujian sampel laboratorium oleh asosiasi Sawitku Masa Depanku SAMADE dianalisa dengan metode SAW untuk menentukan alternatif terbaik yang akan dijadikan sebagai acuan pada proses perhitungan terhadap rekomendasi dosis pupuk dengan cara membandingkan hasil konversi nilai setiap kriteria pada alternatif terpilih. Dari penelitian yang dilakukan dan telah diimplementasikan kedalam aplikasi yang dibangun berbasis android dapat memberikan hasil berupa rekomendasi jumlah dosis pupuk POC NASA terhadap tanaman kelapa sawit. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free IT Journal Research and Development ITJRD Maret 2021, E-ISSN 2528-4053 P-ISSN 2528-4061 DOI 147 Journal homepage http/ Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode SAW Berbasis Android Fitri Ayu1, Ari Mustofa2 Program Studi Manajemen Informatika, AMIK Mahaputra Riau 1,2 fitriayu arytafa History Dikirim 19 Agustus 2020 Direvisi 06 Oktober 2020 Diterima 04 November 2020 Pemupukan merupakan salah satu syarat pemeliharaan tanaman termasuk pada tanaman kelapa sawit yang selama ini menjadi penghasil bahan baku utama untuk produksi minyak sawit. Namun sering terjadi persoalan-persoalan yang dialami para petani saat proses pemupukan seperti jenis pupuk yang tidak tepat dan dosis pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan dilapangan sehingga para petani mendapatkan hasil panen yang tidak sebanding dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan untuk penggunaan pupuk. untuk mengatasi persoalan mengenai penentuan jumlah dosis pupuk diterapkan metode simple additive weightig SAW yang diimplementasikan dalam sistem pengambilan keputusan dalam menentukan dosis pemupukan pada tanaman kelapa sawit dengan menggunakan pupuk organik cair POC NASA. Proses pengolahan data yang telah didapat dari hasil pengujian sampel laboratorium oleh asosiasi Sawitku Masa Depanku SAMADE dianalisa dengan metode SAW untuk menentukan alternatif terbaik yang akan dijadikan sebagai acuan pada proses perhitungan terhadap rekomendasi dosis pupuk dengan cara membandingkan hasil konversi nilai setiap kriteria pada alternatif terpilih. Dari penelitian yang dilakukan dan telah diimplementasikan kedalam aplikasi yang dibangun serta penilaian kuisioner dari sampel 90 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani agro lestari, terhadap sistem yang di buat, di dapat tingkat kepuasan user sebesar 82,4% jadi aplikasi yang dibangun berbasis android dapat memberikan hasil yang sangat baik dalam memberikan rekomendasi jumlah dosis pupuk POC NASA yang tepat terhadap tanaman kelapa sawit. Kata Kunci Android Kelapa Sawit Pemupukan SAW SPK © This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International License. Koresponden Fitri Ayu Program Studi Manajemen Informatika AMIK Mahaputra Riau Jln. HR. Soebrantas No. 77, Pekanbaru, Indonesia, 28294 Email fitriayu 1. PENDAHULUAN Tanaman Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq merupakan komoditas perkebunan andalan Indonesia khususnya Provinsi Riau, Tanaman ini memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai sumber perolehan devisa negara. Kelapa sawit menghasilkan minyak nabati terbesar di Indonesia, yaitu per hektar 5-7 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya [1]. Oleh karena itu, tanaman kelapa sawit menjadi salah satu tanaman penting IT Jou Res and Dev, Maret 2021 147 - 157 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android penghasil minyak di dunia dan dibudidayakan secara luas di Asia tenggara termasuk Malaysia, Indonesia, dan Thailand [2]. Kelapa sawit umumnya dibudidayakan pada tanah tropik yang memiliki tingkat kesuburan kimia rendah dan kesuburan fisik yang beragam [3]. Secara umum produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik dan teknik budidaya [4]. Pemupukan merupakan faktor utama untuk mengatasi kondisi tanah yang marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanah, sehingga dibutuhkan keseimbangan dosis dan jenis pupuk yang digunakan [5]. Pemupukan dengan dosis yang tepat dan jadwal yang teratur akan mempercepat produktivitas tanaman kelapa sawit. Pemberian pupuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hara yang tidak dapat disediakan oleh tanah, Pupuk Organik Cair POC NASA merupakan unsur-unsur hara makro yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Pupuk ini terbuat dari bahan-bahan organik yang diproduksi oleh Nusantara NASA yang dirancang secara khusus terutama untuk mencukupi kebutuhan nutrisi lengkap tanaman [6]. Pada penelitian ini, peneliti mencoba melakukan pengamatan langsung pada perkebunan kelapa sawit masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani Agro Lestari yang mana kelompok tani ini masih melakukan cara manual baik dalam pemberian pupuk maupun penentuan jumlah dosis pupuk yang akan diaplikasikan ke tanaman kelapa sawit tanpa adanya pemanfaatan teknologi dan perhitungan yang jelas. Sehingga terjadi ketidak seimbangan antara pemakaian pupuk dengan hasil yang diperoleh petani. Dari pengamatan tersebut, peneliti mencoba merancang sebuah Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metoda SAW Berbasis Android yang merupakan bagian dari sistem informasi berbasis komputer termasuk sistem berbasis pengetahuan yang melakukan pendekatan untuk menghasilkan berbagai alternatif keputusan untuk membantu pihak tertentu dalam menangani permasalahan dengan menggunakan data dan model, sehingga dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan pemberian dosis pemupukan yang tepat untuk tanaman kelapa sawit [7]. Dalam sistem yang akan dirancang, peneliti mencoba menerapkan metode Simple Additive Weighting SAW yang merupakan salah satu teknik MADM yang paling banyak digunakan untuk menghitung nilai akhir alternatif. Dalam teknik SAW, skor akhir masing-masing alternatif dihitung beserta peringkatnya [8]. Sehingga Aplikasi yang dirancang diyakini dapat menangani permasalahan pada kelompok tani Agro Lestari karena di implementasikan dalam bentuk sebuah Aplikasi Berbasis Mobile yang dapat membantu memberikan rekomendasi dosis pemupukan dengan POC NASA yang tepat untuk tanaman kelapa sawit yang dapat digunakan secara mudah dan praktis oleh para petani kapanpun dan dimanapun. Penelitian lain yang pernah dilakukan yaitu tentang “Pemupukan dan Penentuan Dosis Pupuk Spesifikasi Lokasi Pada Plasma Perkebunan Kelapa Sawit di Perkebunan PT Unit PTPN Perkebunan XIV Luwu Timur Burau” yang dilakukan oleh Amelia Hidayah 2017, dari penelitian ini dapat diketahui dosis pemupukan yang dilakukan oleh perkebunan inti dan perkebunan plasma telah sesuai dengan rekomendasi kebutuhan hara spesifik lokasi [9]. 2. METODE PENELITIAN Adapun tahapan kegiatan yang dilakukan menuju penyelesaian sistem dalam penelitian ini, mengikuti metode pengembangan sistem klasik, seperti terlihat pada gambar 1 berikut a. Requirement Kebutuhan Sistem Sistem yang dibangun ini bertujuan untuk mengatasi masalah user atau petani dalam menentukan dosis pemupukan melalui penggunaan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode SAW Berbasis Android. Android dimulai dari mengumpulkan data yang digunakan, yaitu data dari pengujian sampel kebun sawit masyarakat yang diteliti oleh asosiasi sawitku masa depanku SAMADE dan melakukan interview terhadap petani sawit serta studi kepustakaan untuk mendapat referensi penunjang untuk proses selanjutnya yaitu menganalisa kebutuhan sistem, memahami teknik yang akan IT Jou Res and Dev, Maret 2021 135 - 146 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android digunakan dalam pengolahan data yang telah diperoleh dari tahapan requirement dan menganalisa apa saja yang akan digunakan baik hardware maupun software dalam membangun aplikasi android. Gambar 1. Metode Penelitian b. Design Sistem Sistem Aplikasi rekomendasi penentuan pemupukan berbasis android dirancang sebagai aplikasi berbasis client server yang mana database berada pada komputer server sementara aplikasi absensi diinstal pada masing-masing perangkat mobile dari pengguna dan bertindak sebagai client yang berfungsi untuk menginput data sampel uji, selanjutnya data sampel uji diolah dengan menggunakan metode SAW untuk mendapatkan hasil rekomendasi pemupukan. Kemampuan metode SAW untuk melakukan penilaian secara lebih tepat karena di dasarkan pada nilai kriteria dan bobot preferensi yang sudah ditentukan, merupakan alasan pemilihan metode ini dalam penelitian. Untuk mengelola data pendukung dalam menentukan rekomendasi pemupukan kelapa sawit diperlukan sebuah aplikasi berbasis desktop yang digunakan sebagai pusat untuk mengatur data pendukung yang akan digunakan untuk proses penentuan rekomendasi pemupukan, seperti terlihat pada gambar 2. Gambar 2. Design system c. ERD Entity Relationship Diagram Entity Relationship Diagram digunakan untuk memodelkan struktur data serta hubungan antar data, untuk dapat menggambarkannya digunakan beberapa notasi serta simbol[10]. Database berperan sangat penting dalam sistem penentuan dosis pemupukan, untuk menyimpan informasi yang dibutuhkan. Dalam database terdiri dari sejumlah tabel yang digunakan untuk menyimpan berbagai kelompok data yang diperlukan untuk mengelola data rekomendasi pemupukan, pada dasarnya ada beberapa tabel khusus seperti data kebun, data sampel, alternatif, data bobot kriteria, normalisasi dan perangkingan seperti terlihat pada gambar 3. IT Jou Res and Dev, Maret 2021 147 - 157 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android Gambar 3. Entity Relationship Diagram d. Implementasi Sistem aplikasi penentuan dosis pemupukan diimplementasikan untuk proses rekomendasi pemupukan, diawali dengan user menginstal aplikasi berbasis android melalui file apk, selanjutnya user melakukan login untuk masuk kemenu aplikasi. Setelah login berhasil aplikasi akan menampilkan menu data sampel. Untuk proses penentuan rekomendasi pupuk dilakukan dengan cara menginput data sampel yang sebelumnya sudah di rekapitulasi. Selama proses aplikasi melakukan pengecekan terhadap data sampel dan menentukan kriteria dan alternatif. Setelah pengecekan berhasil maka aplikasi akan membuat rating kecocokan pada setiap kriteria dan alternative. Aplikasi akan membuat list Perangkingan penjumlahan dari perkalian matriks ternormalisasi R dengan vektor bobot sehingga diperoleh nilai terbesar yang dipilih menjadi alternatif terbaik A sebagai referensi acuan yang akan digunakan dalam proses penentuan dosis pupuk. Selanjutnya aplikasi melakukan proses perhitungan perbandingan terhadap alternatif terpilih yang akan menghasilkan sebuah rekomendasi dosis pupuk POC pada tanaman kelapa sawit. seperti terlihat pada gambar 4 dan gambar 5. Gambar 4. User mempersiapkan aplikasi Gambar 5. Proses Rekomendasi Pemupukan IT Jou Res and Dev, Maret 2021 135 - 146 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android e. Verifikasi Pada tahap ini dilakukan proses pengujian terhadap hasil analisa menggunakan metode Simple Additive Weighting SAW yang sudah disematkan kedalam aplikasi yang dirancang untuk membantu dalam pengolahan data yang bertujuan untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, dimulai dengan memilih data kebun yang sudah diinput kedalam database, selanjutnya aplikasi akan melakukan perhitungan dengan tahapan SAW yang sudah diatur dalam aplikasi dan hasil akhir akan menampilkan data rekomendasi dosis pemupukan yang tepat yang harus digunakan oleh petani untuk tanaman sawit mereka. f. Pemeliharaan Sistem Sistem Aplikasi yang sudah dibangun, perlu dilakukan maintenance untuk menghindari masalah yang kemungkinan sewaktu-waktu bisa terjadi yang dapat menghambat penggunaan Aplikasi sewaktu digunakan oleh user atau para petani, meng-upgrate perubahan baik data ataupun faktor lingkungan yang terjadi, selain itu pemeliharaan sistem juga perlu dilakukan untuk meningkan kehandalan dari system yang telah dibangun. Untuk menentukan rekomendasi Dosis Pupuk Organik Cair POC NASA terhadap tanaman kelapa sawit dengan metode Simple Additive Weighting SAW dapat dilihat pada gambar 6 berikut. Gambar 6. Tahapan Menentukan Rekomendasi POC NASA Tahapan Metode Simple Additive Weighting SAW 1. Mempersiapkan Data Pengujian Data sampel pengujian didapat dari hasil uji lab yang dilakukan oleh Asosiasi Samade, yaitu data sampel uji dari Daun, Pelepah dan Tanah dengan lokasi pengambilan sampel pada bagian Depan, tengah dan Belakang. 2. Menentukan Kriteria C Berdasarkan data sampel yang ada, kriteria yang akan digunakan terdiri dari NatriumN, Fosfor F, KaliumK, MagnesiumMg, KalsiumCa dan BoronB. Alternatif yang digunakan dalam pengambilan keputusan terdiri dari Daun, Pelepah dan Tanah yang masing-masing diambil dari Areal Bagian Depan, tengah dan Belakang. 3. Membuat rating kecocokan pada setiap kriteria pada setiap alternative Proses menentukan rating kecocokan, dimulai dari mendefenisikan atribut yang menjadi alternatif dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya dibuat suatu tingkat kepentingan kriteria berdasarkan nilai bobot yang telah ditentukan ke dalam bilangan fuzzy dan disimbolkan dengan W. dengan persamaan yaitu IT Jou Res and Dev, Maret 2021 147 - 157 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android 1 dimana Wn menyatakan nilai rating kecocokan untuk Kriteria ke-n, yang didapat dari hasil bagi terhadap urutan Kriteria Ke-n Wj dengan Jumlah Keseluruhan dari Kriteria Ewj. Setelah didapatkan nilai rating kecocokan pada setiap kriteria akan ditentukan nilai bobotnya yang terdiri dari 3 atribut fuzzy, yaitu RendahR, OptimumO dan Berlebihan B 4. Membuat matrik keputusan berdasarkan Kriteria C Setelah diketahui nilai rating kecocokan dan bobot dari setiap kriteria, selanjutnya dibuat matrik keputusan dengan cara mengubah data hasil konversi nilai bobot pada setiap alternatif berdasarkan nilai bobot masing-masing kriteria C. 5. Melakukan normalisasi matriks berdasarkan persamaan yang disesuaikan dengan jenis atribut, sehingga diperoleh matrik ternormalisasi R. Selanjutnya dilakukan proses normalisasi matriks berdasarkan persamaan yang disesuaikan dengan jenis atribut sehingga diperoleh matriks ternormalisasi R dengan persamaan berikut ,𝑋&& 𝑋&' 
𝑋'& 𝑋'' 
𝑋& 𝑋' 

 𝑋&!
 𝑋'!
 𝑋!. 2 Setelah matrik keputusan terbentuk, selanjutnya melakukan normalisasi terhadap matrik keputusan dengan menggunakan persamaan berikut 6. Melakukan proses perankingan yaitu penjumlahan dari perkalian matriks ternormalisasi R dengan vektor bobot sehingga diperoleh nilai terbesar yang dipilih menjadi alternatif terbaik A sebagai referensi acuan yang akan digunakan dalam proses penentuan dosis pupuk. Setelah proses normalisasi dilakukan atau matrik ternormalisasi sudah didapatkan, tahap terakhir untuk mendapatkan proses perangkingan Vi yaitu dengan cara mengalihkan bobot W pada setiap kriteria yang sudah ditentukan dengan matrik yang telah ternormalisasi R dengan menggunakan persamaan berikut 4 Berdasarkan data hasil perhitungan bobot preferensi, selanjutnya dilakukan proses perangkingan terhadap hasil perhitungan untuk mendapatkan alternatif terbaik. 7. Melakukan proses perhitungan perbandingan terhadap alternatif terpilih yang akan menghasilkan sebuah rekomendasi dosis pupuk POC NASA pada tanaman kelapa sawit. Setelah alternatif telah didapatkan, selanjutnya melakukan proses perbandingan terhadap jumlah komposisi yang ada pada pupuk organic cair POC NASA terhadap jumlah kandungan unsur yang ada pada setiap kriteria pada alternatif terpilih yaitu ‱ Konversi setiap Kiteria pada alternatif terpilih dengan Kemasan POC NASA ‱ Bandingkan hasil konversi dengan jumlah Komposi Setiap kriteria di setiap Volume POC NASA Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini di dapat dari hasil penelitian laboratorium yang dikeluarkan oleh Asosiasi SAMADE Wilayah Riau yang sebelumnya di dapat dari penelitian langsung pada perkebunan kelapa sawit masyarakat, seperti data pertumbuhan tanaman kelapa sawit, data pengujian contoh daun dan pelepah kelapa sawit, serta data pengujian contoh tanah. IT Jou Res and Dev, Maret 2021 135 - 146 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android Konsep Teori Simple Additive Weighting SAW SAW merupakan metode yang menggunakan teknik atau cara penjumlahan terbobot, dasar konsep SAW dimulai dari mencari hasil jumlah terbobot dari proses rating kinerja yang ada pada tiap alternatif pada semua atribut [11]. Metode SAW membutuhkan proses normalisasi matriks keputusan X ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada [12]. Kelebihan SAW dibandingkan dengan pemodelan yang sama adalah terletak pada kesanggupan dalam melakukan penilaian lebih tepat, karena berdasarkan pada nilai C dan bobot yang telah ditetapkan, selain itu SAW juga mampu memilih Vi, alternatif yang paling baik dari daftar Vi, yang ada karena adanya pengaruh dari proses perankingan setelah menentukan nilai bobot untuk setiap atribut. Kelapa Sawit Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. merupakan komoditi unggul dari perkebunan yang dikategorikan penting di Indonesia sebagai sumber penyokong pendapatan negara. Indonesia saat ini adalah produsen minyak sawit dari asean yang terbesar di dunia dari negara lainnya [13]. Minyak nabati merupakan hasil dari tanaman sawit yang sampai sekarang memiliki keunggulan yang lebih jika dibandingkan dengan tanaman lain yang menghasilkan produk yang sama yaitu produktivitas yang tinggi mencapai +4 ton ha-1 Crude Palm Oil CPO, serta disisi umur tanaman yang ekonomis dan panjang serta mudah beradaptasi dengan lingkungan tanaman. Produk minyak sawit juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan pangan maupun non pangan, dan bahan bakar yang renewable. Android Android merupakan salah satu sistem operasi mobile open source yang memungkinkan pengguna dapat mengembangkan aplikasi yang akan dijalan diatas sistem operasi android [14]. Sehingga banyak para pengguna lebih menggunakan sistem operasi android dalam mengembangkan aplikasi dan dapat digunakan secara mudah dan portable. Aplikasi yang dibangun dalam penelitian ini, merupakan aplikasi yang dikembangkan untuk dijalankan di android untuk membantu para pengguna atau petani dalam hal pemberian dosis pemupukan POC NASA yang tepat terhadap tanaman kelapa sawit. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini adalah berupa sistem aplikasi Penentuan Pemupukan Kelapa sawit menggunakan metode SAW berbasis Android. Dimana aplikasi ini dibagi menjadi dua jenis, aplikasi pertama adalah aplikasi berbasis desktop yang digunakan untuk mengelola data pendukung yang diperlukan dalam proses Penentuan Rekomendasi. Sementara aplikasi berikutnya adalah Aplikasi berbasis android untuk keperluan proses menentukan hasil rekomendasi pemupukan POC Terhadap Kelapa sawit. Dalam proses pengujian aplikasi yang dilakukan oleh user dalam menentukan rekomendasi pupuk mampu menampilkan data rekomendasi berdasarkan data sampel tanah, daun dan pelepah. Dari aplikasi yang dibangun juga dilakukan penilaian kuisioner dari sampel 90 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani agro lestari, terhadap sistem yang di buat, dan di dapat tingkat kepuasan user sebesar 82,4% jadi aplikasi yang dibangun berbasis android dapat memberikan hasil yang sangat baik dalam memberikan rekomendasi jumlah dosis pupuk POC NASA yang tepat terhadap tanaman kelapa sawit. Halaman Aplikasi Desktop Aplikasi berbasis desktop merupakan aplikasi yang dibangun untuk mengelola seluruh data pendukung yang diperlukan dalam proses penentuan dosis pemupukan. Pada aplikasi ini terdapat menu antara lain Data rekap uji data sampel kebun, manajemen data Kriteria dan bobot, manajemen data bobot Preferensi, manajemen data matrik keputusan. Untuk hierarki sistem aplikasi pengelolaan data pendukung pemupukan, seperti terlihat pada gambar 7 – 10 berikut. IT Jou Res and Dev, Maret 2021 147 - 157 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android Gambar 7. Rekap data uji sampel kebun Gambar 8. Tampilan Kriteria dan Bobot Gambar 9. Bobot Preferensi Gambar 10. Matrik Keputusan Halaman Aplikasi Android Proses utama untuk memulai penggunaan Aplikasi rekomendasi Menggunakan metode SAW Berbasis Android ini yaitu dengan mengklik menu Login, yang membutuhkan username dan password pengguna, seperti terlihat pada gambar 11. Gambar 10. Menu Login Setelah berhasil Login akan masuk ke Menu Pilihan data terlihat pada gambar 11. IT Jou Res and Dev, Maret 2021 135 - 146 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android Gambar 11. Datfar Kebun Kemudian proses penentuan rekomendasi dapat dilakukan setelah memilih data kebun dan selanjutnya aplikasi akan menampilkan data sampel kebun. Setelah itu, aplikasi mengolah data sampel menggunakan metode SAW untuk mendapatkan hasil rekomendasi pupuk sesuai dengan data sampel yang ada seperti terlihat pada gambar 12. Gambar 12. Data sampel Kebun a b c Gambar 13 a Tampilan Datftar kriteria & bobot,b data Perangkingan, c hasil Rekomendasi dosis POC IT Jou Res and Dev, Maret 2021 147 - 157 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android 4. KESIMPULAN Penelitian ini telah berhasil dilakukan dan memberikan beberapa kesimpulan yaitu 1. Aplikasi yang dibangun mampu mengatasi persoalan-persoalan dalam proses penentuan rekomendasi dosis POC NASA pada tanaman kelapa sawit secara praktis karena berbasis android dengan mengimplementasikan metode SAW. Dan dari aplikasi yang dibangun telah dilakukan penilaian kuisioner dari sampel 90 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani agro lestari, dan di dapat tingkat kepuasan user sebesar 82,4% jadi aplikasi yang dibangun berbasis android dapat memberikan hasil yang sangat baik dalam memberikan rekomendasi jumlah dosis pupuk POC NASA yang tepat terhadap tanaman kelapa sawit. 2. Hasil penelitian ini telah menghasilkan suatu rekomendasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengambil kebijakan dalam menggunakan pupuk POC NASA kemasan 250 ml dengan dosis pemupukan yang direkomendasikan sebanyak 21 botol untuk area lahan 2 Ha atau 11 bobot POC NASA kemasan 250 ml untuk per-hektarnya, dimana luas lahan didapat berdasarkan pada alternatif yang dipilih. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi KEMENRISTEK DIKTI yang telah memberikan dukungan Finansial terhadap penelitian ini sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA [1] Rafflegeau, S., Michel-Dounias, I., Tailliez, B., Ndigui, B., & Papy, F. 2010. Unexpected N and K nutrition diagnosis in oil palm smallholdings using references of high-yielding industrial plantations. Agronomy for Sustainable Development, 304, 777-787. [2] Dody, Jayadi & Wahyu. 2011, “Analisa dan Perancangan Aplikasi Wisata dengan Menggunakan Teknologi QR Code pada Platform Android”, Binus University, Jakarta. [3] Paramananthan, S. 2013. Managing marginal soils for sustainable growth of oil palms in the tropics. Journal of Oil Palm, Environment and Health JOPEH, 4. [4] Suharta, N. 2017. Karakteristik dan permasalahan tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 294, 139-146. [5] Obi, J. C., & Udoh, B. T. 2012. Nutrient budget for optimal oil palm Elaeis guineensis Jacq yield on coastal plain sands soils of Akwa Ibom State Nigeria. Open Journal of Soil Science, 203, 289. [6] Neli, S., Jannah, N., & Rahmi, A. 2016. Pengaruh Pupuk Organik Cair Nasa dan Zat Pengatur Tumbuh Ratu Biogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Terung Solanum melongena L. Varietas Antaboga-1. Agrifor, 152, 297-308. [7] Irfanda, M., & Santosa, E. 2016. Peramalan Produksi Kelapa Sawit Elaeis guineensis Jacq. di Perkebunan Sei Air Hitam berdasarkan Kajian Faktor Agroekologi. Buletin Agrohorti, 43, 282-287. [8] Qorry, O. 2018. Kelimpahan dan pola aktivitas kijang muntiacus muntjak, zimmermann 1780 di kawasan hutan konservasi prof. Dr. Sumitro djojohadikusumo pt. Tidar kerinci agung tka Doctoral dissertation, Universitas Andalas. [9] A. Reski Amelia Hidayah “ Pemupukan dan Penentuan Dosis Pupuk Spesifik Lokasi Pada Plasma Perkebunan Kelapa Sawit di Perkebunan PT Unit Perkebunan XIV Luwu Timur Burau, 2017. [10] Alvi, B., Ariyanti, M., & Maxiselly, Y. 2018. Pemanfaatan beberapa jenis urin ternak sebagai pupuk organik cair dengan konsentrasi yang berbeda pada tanaman kelapa sawit Elaeis guineensis jacq. di pembibitan utama. Kultivasi, 172, 622-627. [11] Sudrajat., Fitriya., 2015, “Optimasi Dosis pupuk dolomit pada tanaman kelapa sawit Elaesis Guinneensis Jacq. belum menghasilkan umur satu tahun.” Jurnal Agrovigor IT Jou Res and Dev, Maret 2021 135 - 146 Ayu, Perancangan Aplikasi Penentuan Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Saw Berbasis Android [12] Ruskan, E. L., Ibrahim, A., & Hartini, D. C. 2013. Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Hotel Di Kota Palembang Dengan Metode Simple Additive Weighting SAW. JSI Jurnal Sistem Informasi E-Journal, 51. [13] Ristyawan, A., & Indriyono, B. V. 2015. Penerapan Metode Simple Additive Weighting Saw Untuk Pengambilan Keputusan Pemberian Upah Karyawan. SEMNASTEKNOMEDIA ONLINE, 31, 1-2. [14] Dewi, N. K. C., Anandita, I. B. G., Atmaja, K. J., & Aditama, P. W. 2018. RANCANG BANGUN APLIKASI MOBILE SISKA BERBASIS ANDROID. SINTECH Science and Information Technology Journal, 12, 100-107. [15] Song, I. Y., & Froehlich, K. 1994. Entity-relationship modeling. IEEE Potentials, 135, 29-34. [16] Elistri, M., Wahyudi, J., & Supardi, R. 2014. Penerapan metode saw dalam sistem pendukung keputusan pemilihan jurusan pada Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Seluma. Jurnal Media Infotama, 102. BIOGRAFI PENULIS Fitri Ayu Received the Bachelor of Computer Science in 2009 and Master of Information Technology in 2011 from Universitas Putra Indonesia “YPTK” UPI “YPTK” Padang Currently, she has been Lecturer in College of AMIK Mhaputra Riau, the Faculty of Information Engineering of Riau University, and also an Assistant in An-Namiroh Education Foundation, Pekanbaru since 2012. Her current research interest are Programming and Android Applications making. Ari Mustofa Received the Bachelor of engineering from Institut Teknologi Medan in 2009 and Master of Information Technology in 2018 from Universitas Putra Indonesia "YPTK" UPI "YPTK" Padang Currently, she has been a Lecturer in College of AMIK Mahaputra Riau, Research that is of interest right now is programming and making desktop and Android based applications. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Jude ObiThe objective of the study was to establish approximate relationships between yield and soil nutrients in oil palm production. The study was conducted in Nigerian Institute for Oil Palm Research NIFOR substation Ibesit ekoi in Oruk Anam Local Government Area of Akwa Ibom State Nigeria. Soil, rainfall and yield data were collected from oil palm plantation established 49, 29, 9 and 0 control years ago in an area underlain by coastal plain sands. Descriptive statistics, analysis of variance and multiple stepwise regression analysis were used to study variations, effect of land use on soil properties at different depths and contributions of various soil nutrients at different depths to the yield fresh fruit bunch FFB’ and palm oil of oil palm. Results of coefficient of variability revealed that approx. of the variables were highly variable including available phosphorus, extractable zinc, FFB and palm oil, while others were either least or moderately variable. Oil palm trees influenced soil development with its effect on silt content at 30 - 60 cm depth. Uptake of phosphorus in oil palm land use system decreases with depth. This was further confirmed by the relative contribution of available phosphorus to FFB yield that decreased from the surface of the soil downwards. Extractable zinc contents of oil palm land use were not significantly different from each other ranging between and mgkg–1 but significantly different from the control mgkg–1. In the modeling process, it was observed that the absolute contribution of texture was minimal while exchangeable sodium was highest percent in the quantity of oil palm production. Also extractable copper and zinc were found to have made large contributions to FFB and oil palm. Oil palm Elaeis guineensis is a high-yielding source of edible and technical oils but requires proper knowledge and precise administration of nutrient demands for management of a major production constraint which is soil Rafflegeau Michel IsabelleBertrand TailliezFrançois PapyThe rising demand for vegetable oil is inducing an expansion of oil palm cultivation in the tropics. In southern Cameroon oil palm smallholdings have been growing fast since the mid-1990s. Now, industrial plantations and smallholdings exist side by side. The current technical advice given to smallholders originates from agroindustrial practices. However, industrial plantations were created by planting on previous forest cover with no food intercrops, whereas for smallholdings food crops are a common previous cover and an intercrop during the juvenile phase. Technical advice used for industrial plantations may therefore not apply to smallholdings. Huge yield differences are observed in oil palm smallholdings, ranging from 2 to 14 tha−1 of fresh fruit bunches, while in industrial plantations yields average 14–16 tha−1. As no agronomic evaluation to date had explained those variations, we carried out a regional agronomic diagnosis of N and K nutrition on smallholder plots planted with selected oil palms. To prepare leaf samples and determine mineral contents, we used the same standardised method and the same laboratory as the regional industrial plantations. We compared smallholder leaf N and K contents with reference models of critical mineral contents, previously built with data from the high-yielding industrial plantations. Statistical links were also established between nutritional status and practices. Our results showed two groups of oil palm plantations a group with N deficiencies ranging between 80 and 90% of the reference and K deficiencies ranging from 45 to 90% of the reference, and another group with satisfactory N and K status. The N deficiency was statistically linked to food cropping as the previous cover or as an intercrop, whilst K deficiency was qualitatively linked to an absence of K fertilisation. N deficiency is a specificity of oil palm smallholdings that had never been encountered in African industrial plantations. To conclude, the current technical advice given to smallholders is not well adapted. mineral nutrition–regional agronomic diagnosis–oil palm smallholdings–Elaeis guineensis–Cameroon–nitrogen–potassium–nutritional status trends in oil palm plantations Il-Yeol SongK. FroehlichThe entity-relationship ER model and its accompanying ER diagrams are widely used for database design and systems analysis. Many books and articles just provide a definition of each modeling component and give examples of the pre-built ER diagrams. As a result, beginners in data modeling have a great deal of difficulty learning how to approach a given problem, what questions to ask in order to build a model, what rules to use while constructing an ER diagram, and why one diagram is better than another. The authors present step-by-step guidelines, a set of decision rules proven to be useful in building ER diagrams, and a case study problem with a preferred answer as well as a set of incorrect diagrams for the problem. These guidelines and decision rules have been successfully used in their beginning database management system courseSari. Pembibitan merupakan tahapan awal dalam budidaya tanaman kelapa sawit, kualitas bibit akan mempengaruhi hasil yang akan diperoleh nantinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bibit diantaranya adalah ketersediaan unsur hara yang dapat diperoleh dari pemberian pupuk anorganik dan organik. Pemberian pupuk anorganik tanpa diimbangi pupuk organik dapat merusak sifat tanah, sehingga diperlukan pupuk organik yaitu dengan memanfaatkan urin ternak sebagai pupuk organik cair, dengan menambahkan pupuk organik cair pada tanah, maka dapat membantu proses pertumbuhan tanaman karena pupuk organik cair urin ternak mengandung hormon pertumbuhan bagi tanaman serta mudah diserap tanaman. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Kabupaten Sumedang, pada bulan September 2017 sampai bulan Februari 2018. Ordo tanah yang digunakan adalah Inceptisol. Tipe curah hujan menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson bertipe C dengan ketinggian tempat ±780 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 11 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali dengan jumlah tanaman di setiap plot 2 tanaman. Perlakuan terdiri dari pemberian urin sapi, kambing dan kelinci dengan konsentrasi 40 mL/L air, 120 mL/L air dan 200 mL/L air, serta perlakuan kontrol tanpa perlakuan dan pemberian pupuk urea 3,3 g/tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan urin ternak memberikan pengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman, yang tercermin dari bobot kering tanaman. Perlakuan urin kambing konsentrasi 40 mL/L air dan 120 mL/L air cenderung berpengaruh baik terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk akar bibit kelapa Kunci urin ternak, urin sapi, urin kambing, urin kelinci, kelapa sawit. Abstract. Seedling is an initial stage in the cultivation of oil palm, seed quality will affect the results that will be obtained later. Factor affecting the growth of seedlings of which the availability of nutrients which can be obtained from inorganic and organic fertilizer. Application of inorganic fertilizer without an organic fertilizer balanced can be damage the nature of the soil, necessitating organic fertilizer the urine of livestocks as organic liquid, adding organic liquid fertilizer to the soil, can help the plants to growth because organic liquid fertilizer of livestocks urine contain growth hormone for plants and easily absorbed to the plants. The research was conducted in Experimental Station of Ciparanje, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University, Sumedang, from September 2017 to February 2018. Ordo of the soil used is Inceptisol. Precipitation type according to Schmidt and Ferguson's classification of type C with ± 780 meters above sea level altitude. Experiment was using a randomized block design RBD with 11 treatments with 3 replications and the number of plants in each plot of 2 plants. The treatment consists the urine of cows, goats and rabbits with some concentration of 40 mL/L of water, 120 mL/L of water and 200 mL/L of water as well as a comparison treatment, control untreated and the provision of urea fertilizer 3,3 g/plant. The results showed that the utilization some kinds of cattle urine provides a good effect on plant growth, which is reflected from the dry weight of the plant. Treatment goat’s urine concentration 40 mL/L of water and 120 mL/L of water tends to affect on the dry weight shoot, dry weight root, and shoot root ratio on seedling oil livestock urine, cow’s urine, goat’s urine, rabbit’s urine, oil Irfanda Edi SantosaKegiatan magang dilakukan di Sei Air Hitam Estate, Rokan Hulu, Riau, pada Februari sampai Mei 2012. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan hubungan karakter agronomi dan agroekologi dengan peramalan produksi kelapa sawit. Kegiatan magang terdiri dari beberapa pekerjaan yaitu sebagai karyawan harian lepas selama tiga minggu, sebagai pendamping mandor selama tiga minggu, dan sebagai pendamping asisten selama enam minggu. Pengamatan khusus dilakukan sebagai kegiatan tambahan misalnya mengevaluasi karakter agronomi dan agroekologi yang mempengaruhi produksi kelapa sawit. Hasil dari uji t-parsial mengindikasikan bahwa terdapat tujuh variabel yang mempengaruhi produksi kelapa sawit pada α=1% dan α=5% yaitu umur tanaman, aplikasi pemupukan, kelembaban udara, kecepatan angin, hari hujan, curah hujan, dan defisit air. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat enam model persamaan yang dapat digunakan untuk meramalkan produksi kelapa sawit di dan permasalahan tanah marginal dari batuan sedimen masam di KalimantanN SuhartaSuharta, N. 2017. Karakteristik dan permasalahan tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 294, Pupuk Organik Cair Nasa dan Zat Pengatur Tumbuh Ratu Biogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Terung Solanum melongena L. Varietas Antaboga-1S NeliN JannahA RahmiNeli, S., Jannah, N., & Rahmi, A. 2016. Pengaruh Pupuk Organik Cair Nasa dan Zat Pengatur Tumbuh Ratu Biogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Terung Solanum melongena L. Varietas Antaboga-1. Agrifor, 152, dan pola aktivitas kijang muntiacus muntjak, zimmermann 1780 di kawasan hutan konservasi prof. Dr. Sumitro djojohadikusumo pt. Tidar kerinci agung tka Doctoral dissertationO QorryQorry, O. 2018. Kelimpahan dan pola aktivitas kijang muntiacus muntjak, zimmermann 1780 di kawasan hutan konservasi prof. Dr. Sumitro djojohadikusumo pt. Tidar kerinci agung tka Doctoral dissertation, Universitas Andalas.Pemupukan dan Penentuan Dosis Pupuk Spesifik Lokasi Pada Plasma Perkebunan Kelapa Sawit di Perkebunan PT Unit PerkebunanA. Reski Amelia HidayahA. Reski Amelia Hidayah " Pemupukan dan Penentuan Dosis Pupuk Spesifik Lokasi Pada Plasma Perkebunan Kelapa Sawit di Perkebunan PT Unit Perkebunan XIV Luwu Timur Burau, 2017. KelapaSawit Menghemat Biaya Pemupukan Kelapa Sawit. Pupuk Borate 48 Cap Tawon Nutrisi Boron Pencegah Tanaman Kerdil Dan Meningkatkan Hasil Buah Isi 1kg. Manfaat Borax Pada Tanaman Kelapa Sawit Kelapa Sawit. Cara Pemberian Pupuk Dengan Injeksi Batang Kelapa Sawit. Borax Atau Boron Untuk Tanaman Cabai Graha Chemical. Mahasiswi jurusan Agroekoteknologi konsentrasi Bioteknologi Pertanian Universitas Udayana yang tertarik dalam bidang tulis menulis. Selain bekerja sebagai freelance content writer, ia juga menulis artikel blog untuk sebuah NGO di tau informasi mengenai dosis pupuk kelapa sawit? Berikut Pak Tani Digital akan membagikan informasi mengenai hal tersebut. Simak ulasannya!Tanaman Kelapa SawitKelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang sangat penting di Indonesia, karena merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di kelapa sawit sama dengan komoditas-komoditas lainnya tentu saja juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti varietas bibit, jenis tanah, dan unsur petani harus mengetahui dan menguasai bidang pemupukan karena pengetahuan mengenai pemupukan akan meningkatkan ketepatan dalam pengaplikasian juga Pembangkit Listrik Biogas dari Limbah SawitBerikut adalah unsur-unsur yang esensial untuk kelapa sawit NitrogenKelapa sawit memerlukan unsur N nitrogen dalam jumlah banyak karena unsur nitrogen merupakan unsur hara makro berperan dalam merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan baik akar, batang atau daunnya. Dengan pengaplikasian nitrogen, pertumbuhan vegetatif tanaman akan menjadi lebih nitrogen dapat menghambat pertumbuhan kelapa sawit dan menyebabkan daun berwarna pucat kekuningan. Sumber unsur N antara lain ZA dan P phospor juga merupakan unsur makro esensial sehingga dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah berperan dalam merangsang pertumbuhan akar, mempercepat pembungaan dan merupakan bahan mentah dalam pembentukan protein unsur P menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan daun tanaman berubah warna menjadi keunguan. Sumber unsur P antara lain pupuk TSP, pupuk SP-18, pupuk SP-36 dan Rock umum, kalium berperan dalam pembentukan karbohidrat dan protein pada kelapa sawit, kalium berperan dalam penyusunan minyak dan mempengaruhi ukuran kalium menyebabkan timbulnya bercak-bercak transparan pada daun tua sehingga daun rentan mengering. Sumber kalium adalah pupuk magnesium atau Mg dibutuhkan kelapa sawit dalam jumlah banyak. Magnesium berperan dalam proses Mg dapat menyebabkan ujung daun kelapa sawit menguning saat terpapar sinar matahari, namun daun yang tidak terpapar sinar matahari tidak menunjukkan gejala unsur Mg antara lain adalah dolomit dan tembaga atau Cu merupakan unsur hara mikro esensial yang berarti unsur ini diperlukan atau harus ada meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang Cu berperan dalam pembentukan klorofil zat hijau daun dan mempercepat proses fisiologi tanaman. Tanaman yang kekurangan unsur Cu akan menunjukkan gejala kekeringan kemudian umum, kelapa sawit yang kekurangan unsur Cu dibudidayakan pada lahan gambut. Sumber unsur Cu adalah merupakan unsur mikro sehingga diperlukan dalam jumlah sedikit. Peran unsur boron bagi kelapa sawit adalah sebagai penyusun karbohidrat, gula, protein dan perkembangan ujung dan anak defisiensi boron pada tanaman kelapa sawit adalah munculnya daun pancing, yaitu daun yang kecil dan berbentuk seperti sirip ikan. Sumber unsur boron adalah Peran unsur zink bagi kelapa sawit adalah menunjang pembentukan hormon pertumbuhan dan dalam zink merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun kekurangan unsur ini dapat mematikan jaringan zink banyak terjadi pada kelapa sawit yang di tanam di lahan gambutKarena umumnya kelapa sawit di Indonesia dibudidayakan di tanah podsolik, sehingga dosis pupuk yang dianjurkan pun disesuaikan dengan tanah kelapa sawit dilakukan berdasarkan pada masa produktifnya yang dibagi dua yaitu TBM tanaman belum menghasilkan dan TM tanaman menghasilkan.Dosis dan Jenis Pupuk untuk Kelapa Sawit TBM pada Tanah PodsolikKeterangan*Jika yang tersedia hanya Urea, maka ZA 21%N diganti ke Urea 46% N, maka konversinya 21/45 = 0,47. Jika petani memiliki Urea, maka dosis ZA dikalikan 0,47. Misa l umur 1 bulan perlu Urea 0,1 x 0,47 = 0,047 kg/pohon Urea atau 1/2 ons/pohon Urea. Jadi kebutuhan Urea lebih sedikit dibandingkan ZA, karena kadar N pupuk Urea lebih tinggi dari kadar N pupuk ZA.** Jika petani mempunyai pupuk SP-36, maka dapat digunakan sesuai RP Rock Phospat dengan catatan kandungan P2O5 sama-sama 36%. Tetapi jika yang tersedia pupuk SP-18, maka dosis RP harus dikalikan 36/18 = 2. Sehingga jika kebutuhan RP lobang tanam 0,5 maka dikalikan 2 atau 0,5 x 2 = 1 kg. Jadi untuk SP-18 diperlukan dosis 1 kg/pohon.*** MOP dapat digunakan sama dengan dengan pupuk KCl dengan kadar K2O 60%.Jika memiliki dolomit MgO 18% dan tidak memiliki Kieserit MgO 25%, maka aplikasi dolomit sebesar kiserit harus dikalikan 25/18 = 1,4. Contoh umur sawit 8 bulan memerlukan dolomit sebesar 0,25 x 1,4 = 0,35 kg/pohon. Baca juga Oversupply Sawit, Mampukah Indonesia Bertahan?Dosis dan Jenis Pupuk untuk Kelapa Sawit TBM di Tanah AluvialDosis dan Jenis Pupuk Kelapa Sawit TBM di Tanah EntisolDosis dan Jenis Pupuk Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan di Tanah Mineral bukan gambutKeterangan * Jika tersedia pupuk SP-18, dosis pupuk SP-36 harus dikali dengan 2 yang berasal dari 36/18.Dosis dan Jenis Pupuk Tanaman Menghasilkan di Tanah GambutKeterangan * Jika tersedia pupuk SP-18, dosis pupuk SP-36 harus dikali dengan 2 yang berasal dari 36/18.Itulah informasi mengenai dosis pupuk kelapa sawit yang harus diketahui oleh petani. Semoga informasi yang diberikan bermanfaat ya sobat PTD!Baca juga Ini Alasan Kenapa Harga Sawit Susah NaikIngin menjual hasil panen kamu langsung ke pembeli akhir? Silahkan download aplikasi Marketplace Pertanian Pak Tani Digital di artikel pertanian atau berita pertanian terbaru? Langsung saja klik di sini
Spotplacement Caranya di samping tanaman dibuat lubang sedalam kurang lebih 5-10 cm, kemudian pupuk dimasukkan ke dalam lubang tersebut, setelah itu ditutup dengan tanah. Aplikasi pupuk secara
Nah buat kalian yg tertarik utk Jual Pupuk Kelapa Sawit Terbaik Untuk Lahan Gambut dan membudidayakanya sendiri, saya lantas udah buat persiapan kabar rincian berkaitan Langkah Menanam Sawit dengan benar. Pastinya, langkah - langkah penanaman bukan hanya di ambil dari satu rekomendasi saja namun kelompok dari berapa sumber maka kalian benar - benar mampu menerapkanya dengan cara mandiri.
\n \n cara menghitung dosis pupuk kelapa sawit
dosispupuk nasa untuk kelapa sawit (1) dosis pupuk nasa untuk lahan 1 hektar kelapa sawit (1) dosis pupuk nasa untuk sawit (1) dosis pupuk organik nasa untuk sawit (1) dosis pupuk organiknasa untuk sawit (1) dosis supernasa granule (1) dustributor pupuk nasa di dumai (1) efek collaskin nasa (1) ekspor pupuk organik dari indonesia (5) fungisida
Padadasarnya dosis atau takaran pupuk kelapa sawit yang akan diaplikasikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman sawit itu sendiri. 3. Tepat Waktu Proses pemupukan tanaman kelapa sawit juga harus dilakukan sesuai dengan waktu dan pertumbuhan tanaman itu sendiri. Baik pertumbuhan generatif maupun vegetatif.
Batangpohon kelapa yang kuat dan lurus juga merupakan salah satu patokan bibit tersebut unggul. Bibit kelapa hibrida juga harus terbebas dari hama. Produktivitas indukan yang tinggi juga merupakan faktor penting untuk mendapatkan kualitas bibit yang unggul. Benih kelapa yang telah berumur sekitar 12 bulan juga merupakan faktor penentu.
ZtDry.
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/455
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/918
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/562
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/598
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/762
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/195
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/392
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/953
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/714
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/720
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/881
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/270
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/487
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/434
  • 4zzlbj0yo6.pages.dev/753
  • cara menghitung dosis pupuk kelapa sawit